Bangsa Indonesia sesungguhnya
pernah diperhitungakan bangsa-bangsa lain saat Habibie masih berpengaruh di
begeri ini. Ia berhasil membangun industri
pesawat terbang nasional yang disegani bangsa lain, namun anehnya dicibirkan
oleh bangsa sendiri. Saat berkunjung
ke Iran, wakil presiden Iran saat itu
dalam pidatonya berkata, “Mr. Habibie, in technology you are not only our
leader; you are our Imam.” IPTN dipercaya dan diberi lisensi oleh Casa, pabrik
pesawat terbang Spanyol. Namun orang Indonesia tidak pernah percaya diri bahwa
mereka mampu membuat pesawat yang sangat canggih bahkan paling canggih di
kelasnya. Saat Habibie meluncurkan
produk CN 250, yang diperdengarkan bangsa ini bukan pujian namun celaan.
Ada anekdot yang sangat menghina
diri bangsa ini. Begini: “Dalam perang antara Irak lawan AS, ada sepasukan tentara Irak berjaga-jaga. Saat lewat pesawat buatan Inggris, tetara
Irak itu teriak: “tembak!” Pesawat itu
pun ditembak dengan meriam, namun tidak kena.
Meriam yang menembak pesawat itu tidak mengani sasaran. Demikian pula saat lewat pesawat buatan Amerika. Mereka segera membidik, namun
saat ditembak, pesawat itu gesit menghindari terjangan peluru. Nah saat lewat
pesawat buatan Indonesia, para tentara Irak itu malah duduk2 saja. Sang
komandan bertanya, “Mengapa tidak kalian tembak itu pesawat?” Jawab tentara,
“Tidak usah ditembak, toh nanti juga jatuh sendiri.” Anehnya anekdot itu diciptakan oleh bangsa
Indonesia sendiri. Anekdot itu ditujukan
untuk menghina Habibie.
Saat pesawat CN 235 dibeli oleh pemerintah
Thailand dengan barter beras ketan, koran-koran
di Indoneisa termasuk Kompas,
mengolok-olok Habibie. Mereka mempertanyakan, mengapa tidak dibayar
dengan uang tunai. Padahal saat pemerintahan Megawati beli pesawat tempur Sukhoi dari Rusia, Indonesia
membayarnya tidak dengan uang tunai
melainkan dengan minyak sawit. Dan
Koran Rusia tidak ada yang mengejek Vladimir Putin karena pesawatnya tidak dibayar dengan uang
tunai. Tidak ada yang salah dengan model jua beli semacam ini. Saya menjual genteng, si pembeli membayarnya
dengan kayu bakar, that’s ok! Ada apa
dengan beras ketan? Hinakah makanan yang
bernama beras ketan itu? Barangkali yang
menilai rendah beras ketan memang
benar-benar tidak suka makan beras ketan.
Saat jadi presiden, tiap hari ada
demonstrasi menentang kepemimpinan Habibie. Setiap hari, bung! Akan
tetapi tidak ada seorang pun demonstran yang ditangkap, sekalipun yang
mereka suarakan tidak proporsional. Ke
mana sekarang para demonstran itu?
Apakah kepemimpinan SBY lebih baik daripada Habibie sehingga tidak perlu
lagi ada demonstrasi?
Butet Kartarajasa, saat
menggambarkan Habibie dalam monolognya bahkan berkata, “…cilik! Apa nggak ada
stok lain?” Adakah yang keliru dengan fisik kecil namun punya integritas. Apakah fisik besar lebih baik sekalipun tidak berani ambil resiko. Habibie berbadan kecil, namun para ahli
teknologi seluruh dunia, setuju atau tidak, hormat kepadanya. Ia berani mengambil resiko mengadakan
referendum di Timor Timur, yang akhirnya membuat Timor Timur memisahkan diri
dari Indonesia.
Habibie pula yang mampu menekan
nilai tukar dollar hingga Rp. 7000,-, padahal sebelumnya dollar mencapai Rp.
15.000,- bahkan lebih. Di masa
pemerintahannya pula diselenggarakan Pemilu paling demokratis setelah tahun
1955. Semua orang boleh bikin
partai. Tidak ada sensor terhadap
suratkabar. Tidak perlu SIUPP untuk
menerbitkan surat kabar. Demikian indah
pretasi yang diukir oleh Habibie, akan tetapi ia dihina bahkan di depan umum.
Pada sidang umum MPR, usai
Presiden Habibie membacakan pidato pertanggunjawaban, beberapa anggota DPR
berteriak “hu….hu…” kepada Habibie. Mereka ingin merendahkan Habibie. Untung saat
itu ada AM Fatwa yang mengingatkan para anggota DPR bahwa Habibie adalah
seorang presiden dan personifikasi bangsa Indonesia yang harus mereka hormati. Bayangkan, anggota DPR yang terhormat
berperilaku seperti itu.
Kini pak Habibie sudah tua. Mereka yang membenci Habibie mungkin sedang
berkuasa saat ini. Namun apa yang
diberikan oleh para pembencinya itu untuk negeri dan bangsa ini? Habibie telah berusaha membangun pusat
teknologi dirgantara yang cocok untuk Indonesia yang merupakan negara
kepulauan. Hasil jerih payahnya sengaja
dibuat bangkrut dan dilupakan. Amal solehnya diabaikan.
Banyak yang membenci Habibie
karena beliau pernah dekat dengan pak Harto.
Ada pula yang membencinya karena beliau pernah menjadi ketua Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Orang-orang Katholik dan Kristen sangat ketakutan dengan keberadaan
ICMI. Orang-orang mantan pejabat Orde baru yang kemudian
tersingkir tiba-tiba ketakutan. Beni
Moerdani, Soemarlin, tiba-tiba tidak terdengar perannya. Padahal mereka tadinya adalah orang-orang
yang sangat dekat dengan Soeharto. Orang seperti Sarwono Kusumaatmaja mendirikan Persatuan Cendekiawan Pembangunan
Pancasila (PCPP) yang diketuai Prof. Rubianto Misman, rektor Unsoed saat itu. Abdurrahman Wahid juga adalah orang yang saat
itu berseberangan dengan Habibie.
Tidak ada rasa terimakasih di
dunia ini. Padahal kata Rasulullah,
“Siapa yang tidak berterimakasih kepada sesama manusia, maka ia tidak berterimakasih
kepada Allah.” Bilakah bangsa ini tampil
terhormat kembali di bidang ilmu dan teknologi?
Jawabannya ada pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar