Oleh : Abduh Hisyam
Kemarin 8 Maret 2014, saya memenuhi undangan Amin Rais makan
siang di rumahnya yang asri di Pandeansari Condongcatur Yogyakarta.
Saat saya tiba belum banyak yang hadir, kecuali beberapa kawan lama
seperti Alvin lie. Beberapa saat
kemudian saya diminta menuju ruang makan.
Saat saya keluar untuk mengajak supir ikut makan siang, kulihat pak Amin
mengayuh sepeda menuju lokasi pertemuan.
“Asalamualaikum,” sapanya seperti
biasa. Ia tampil sederhana dengan kemeja batik lengan pendek warna biru.
Bicara tentang sosok Amin Rais tidak bisa dilepaskan dari
politik kontemporer Indonesia. Ia salah satu tokoh peletak dasar reformasi politik
di negeri ini. Jadi kalau dalam tulisan
ini saya lebih banyak menulis tentang
politik seputar PAN, itu karena sulit memisahkan sosok Amin Rais dari politik dan dari partainya.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh para inisiator PAN
se-Jawa Tengah itu, Amin Rais mengatakan bahwa Pemilu 2014 ini adalah praktek
politik yang sangat immoral. Orang tidak
lagi mengandalkan ide atau program, melainkan berapa besar uang yang dikeluarkan calon anggota DPR untuk calon
pemilih. Orang sekarang selalu
bertanya, “wani piro?”
Ia berharap walaupun kinerja PAN pada periode 2008-2013
tidak begitu baik, namun karena ini satu-satunya partai yang mengusung agenda
pembaharuan Muhammadiyah, maka kita hendaknya selalu mengikuti dan melakukan
kritik. Kebanyakan inisiator PAN sudah tidak lagi duduk dalam struktur
partai, akan tetapi sebagian besar sangat loyal dan memiliki komitmen tinggi
demi kemajuan Partai. Orang seperti
Alvin Lie sekalipun kini tidak lagi menjadi anggota DPR dan tidak duduk dalam
struktur kepengurusan DPP, akan tetapi ia tetap di PAN dan selalu hadir di kantor DPP. Faisal Basri yang keluar dari PAN tidak pernah berkeinginan masuk partai lain, sekalipun banyak yang
manawarinya. Ia tetap menjawab bahwa tidak
ada partai sebaik PAN. Memang ada beberapa
orang yang loncat menjadi anggota partai lain, namun jumlahnya tidak banyak dan
sebaiknya dibiarkan saja.
PAN di bawah kepemimpinan Hatta Rajasa seolah-olah di balik ketiak Partai Demokrat. PAN seperti adiknya Partai Demokrrat. Hatta Rajasa, selain menjadi Menko di kabinet
SBY juga adalah besannya. Tiap kali ada
pernyataan keras dari PAN terhadap kinerja pemerintah, pasti ada orang Cikeas
yang menelpon Hatta Rajasa, dan Hatta Rajassa kemdian menelpon pimpinan fraksi
agar tidak bersuara keras. Akibatnya
keputusan yang telah diambil PAN menjadi buyar. Sekalipun sudah sangat loyal kepada SBY akan
tetapi PAN tetap hanya punya tiga orang menteri. Bandingkan dengan PKS yang sangat keras
kepada SBY akan tetapi justru punya lima menteri. Inilah kenyataan kekuatan dan kemampuan
kader-kader PAN di parlemen.
Sikap apa yang harus diambil oleh PAN? “Secara teori, menjadi partai oposisi adalah
sama pentingnya dengan partai penguasa. Memang
saya pernah mengatakan begitu,” demikian
Amin Rais. Akan tetapi dalam
kenyataanya, jika partai kita kecil dan tidak memiliki pendanaan besar, justru akan tidak dilihat dan merugikan
dalam kontestasi Pemiihan Umum. PDI-P
berani bersikap oposisi karena ia partai
besar, pernah berkuasa dan memiliki sumber dana cukup besar. Partai ini banyak disokong para cukong,
sementara partai kita dananya pas-pasan.
Untuk itu menjadi bagian dari kekuasaan menjadi penting. Kita harus
realistis. Saya teringat kepada pidato
salah seorang jenderal di masa awal Orde Baru yang mengatakan bahwa kita boleh
bersikap idealis namun harus sesuai dengan kenyataan. “Bersiakap idealis saja namun melawan
kenyataan yang ada, seperti melawan
militer yang sedang berkuasa, jelas konyol.
Bisa ditembak. Kalau sudah mati
kan habis.”
Dalam sesi tanya jawab, ada seorang kawan lama dari Wonosobo,
Suhardi mengatakan bahwa semua kesalahan
berawal dari Amin Rais, katanya. Mengapa
dulu pak Amin tidak langsung mengambil jabatan presiden. Akibatnya kini kita yang repot. Pak Amin menjawab bahwa memang penonton
sepakbola seringkali lebih pandai daripada sang pemain. Saya kan pemain saat itu. Saya tahu banyak pihak yang tidak senang terhadap saya dan para tokoh reformis yang
tiba-tiba saja muncul ke puncak elit Negara.
Tentara dan kelompok minoritas non-muslim banyak yang tidak percaya
kepada saya, sekalipun mereka dalam pertemuan-pertemuan menyatakan siap
mendukung. Apalagi pihak asing seperti
Amerika. Sungguh mereka sangat tidak mempercayai saya, demikian pak Amin.
Siang itu acara berlangsung hingga ukul 15.00 dengan suasana
sederhana dan penuh tawa. Usai Pemilu
akan diadakan kembali pertemuan serupa.
Acara ditutup dengan doa oleh KH
Hisyam Adnan dari Tegal, bapakku. Pak
Amin rupanya terkesan dengan bapak yang dalam kedaan sakit menyempatkan diri datang
ke Yogya. Ia pun meminta bapak duduk di sampingnya selama pertemuan
berlangsung. Aku sudah dua kali ini
bertemu pak Amin bersepeda. Saat saya
berolah raga pagi di daerah Sawitsari, saya juga bertemu pak Amin bersepeda
sendirian, tanpa pengawalan. Padahal
saat itu ia baru saja dielu-elukan sebagai calon presdien 2004. Beliau masih tetap sederhana hingga sekarang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar