JAIPONG JADI JAIPON..?
Saya salut denga iklan politik PKS, yang menampilkan kliping berita minor tentang partai-partai lain, seperti Golkar dan PDI-P. Iklan itu, menurut pakar komunikasi sangat cerdas. Lewat iklan itu para pemirsa televisi bisa mengetahui kegagalan partai-partai besar. Tak ayal. Iklan itu menuai kritik. Sekalipun demikian tetap saja iklan itu sangat inspiring. Belum lagi hilang heboh iklan poltik tersebut, PKS muncul lagi dengan iklan yang menampilkan remaja-remaja putri tanpa mengenakan jilbab yang sangat gaul. Sekali lagi saya terkagum akan kecerdasan eksponen partai ini dalam mengonsep sebuah iklan politik. Dalam iklan ini PKS hendak memberi kesan sebuah partai terbuka, dan tidak hanya milik mereka yang berjilbab saja. PKS ingin menarik para pemilih pemula dari kalangan remaja. Tugas partai politik adalah meraih suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilihan Umum. Dari mana pun suara itu.
Pada diskusi yang saya ikuti di Paramadina akhir bulan lalu, di sana dibahas artikel yang ditulis oleh Julie Chernov, seorang professor ilmu politik dari Amerika. Artikel itu memaparkan kecenderungan dua partai Islam yaitu PKS dan PAS untuk menjadi moderat. Chernov mengatakan bahwa partai-partai politik apa pun selalu berusaha untuk menjadi partai tengah agar bisa menarik banyak suara. Mereka brusaha untuk menjaring suara dari mana pun, tidak lagi dari konstituen tradisonal (cleavage) mereka. Mereka ingin menjadi catch all party, partai yang bisa menjaring semua kalangan. Untuk itu maka dalam strateginya, PKS yang awalnya adalah Partai Keadilan, tidak lagi menyuarakan Piagam Jakarta atau pemberlakuan hukum Syariah. Mereka tidak lagi meyuarakan ideologi Islam , akan tetapi yang mereka suarakan adalah pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih. Untuk itu maka jargon mereka adalah: bersih dan peduli.
Dalam Musyawrah Kerja Nasional mereka, diputuskan untuk menerima non-Muslim bukan hanya sebagai kader melainkan juga sebagai pemimpin partai. Tentu saja ini merupakan langkah mengejutkan karena sebagai sebuah partai Islam, biasanya mereka tidak mau mengangkat pemimpin dari golongan lain (non-Muslim). Mereka juga memberi peluang bagi kader perempuan untuk maju menjadi anggota legislative. Tentu saja keputusan ini mengakibatkan munculnya friksi-friksi dalam partai ini, antara yang ideologis dan yang pragmatis. Sekalipun demikian ternyata secara formal, PKS siap dipimpin oleh non-Muslim.
Dalam banyak hal, Partai Islam se-Malaysia (PAS) juga melakukan strategi yang sama. Mereka belajar dari pengalaman bahwa jika didalam kampanye selalu menyuarakan isu-isu Islam, seperti pemberlakuan hukum syariah dan juga hudud, maka mereka ditinggalkan oleh rakyat. Akan tetapi jika mereka tidak menyuarakan hal-hal berbau syariah dan sebaliknya menyuarakan isu-isu universal seperti pengangguran, maraknya kriminalitas, dan korupsi di pemerintahan, mereka akan mendapat banyak dukungan.
Apakah perubhaan strategi ini diikuti dengan perubanah ideologi? Chernov tidak menjawab dengan tegas, akan teapi ia mengatakan bahwa perubahan strategi akan diikuti dengan perubahan ideologi. Perwujudan ideologi itu bisa merupakan pengubahan, pengurangan, atau penundaan. Akan ada reinterpretasi terhadap ideologi. Dalam kasus PKS umpamanya, mereka tidak lagi ingin memperjuangkan diberlakukannnya Piagam Jakarta, akan tetapi kini mereka akan memperjuangkan Piagam Madinah.
Apakah semua langkah di atas itu hanya strategi untuk menang belaka? Apakah setelah mereka menang merka benar-benar tidak akan memberlakukan ideologi Islam akan tetapi memperjuangkan pemerintahan yang bersih, dan mengarangi angka pengangguran? Ini yang harus kita perhatikan. Paling tidak langkah-langkah partai Islam yang selama ini dianggap radikal sungguh cerdas dan menarik. Saya pribadi berharap langkah itu mengubah ideologi mereka sehingga partai-partai tersebut tidak lagi mementingkan simbol-simbol Islam melainkan substansinya. Masyarakat Islam bukanlah masyarkat yang kaum perempuannnya memakai jilbab, melainkan masyarakat yang menjunjung tinggi harkat kaum perempuan. Menjunjung harkat perempuan berarti perempuan mendapatkan kesempatan yang luas di bidang karir, kebebasan berekspresi, layanan kesehatan dan pendidikan, kesempatan cuti hamil dan haid, subsidi susu untuk anak, tidak dipaksa untuk menerima poligami (dimadu), dan lain-lain. Masyarakat Islam adalah masyarakat di mana tidak ada kriminalitas, tidak ada korupsi, dan angka pengangguran ditekan rendah, ekonomi tumbuh stabil dan merata, selokan tidak mampat, sampah tidak berserakan. Itulah Islam yang saya cita-citakan. Dan partai-partai Islam mendapat perhatian besar untuk mewujudkan hal itu. Tidak heran jika masyarakat menaruh harapan besar kepada PKS.
Akan tetapi saya terkejut ketika baru-baru ini gubernur Jawa barat Ahmad Heryawan, sebagaimana diberitakan Okezone.com dan harian KOMPAS hari Jumat 6 Pebruari 2009, mengimbau para penari jaipong agar berpakaian yang lebih sopan dan lebih menutup aurat. Juga agar para penari mengurangi tiga G, yaitu “goyang, geol, dan gitek.” Imbauan gubernur ini jelas akan membawa kesan bahwa PKS kembali ke kanan, memperjuangkan ideologi Islam yang simbolis. Sesungguhnya, tarian jaipong yang ada sekarang bukan merupakan bentuk pronografi, dan baik pakian maupun gerak penarinya juga tidak vulgar. Nah, mengenai vulgar atau tidaknya sebuah gerakan tentu saja saya sangat subyektif. Bagi beberapa kalangan mungkin dianggap vulgar. Akan tetapi, apakah kesenian tradisional masyarakat kita seperti jaipong itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam?
Bukankah dalam Islam, orang-orang beriman diwajibkan untuk ghaddul bashar, membatasi pikirannya. Bashar di sini bukan hanya berarti penglihatan mata, tapi juga penglihatan pikiran. Dengan demikian yang harus dikekang adalah isi otak kita. Bukankah dalam masyarakat Arab sendiri terdapat seni tari yang hampir mirip dengan jaipong? Tari perut yang sekarang sedang mendunia adalah tarian padang pasir yang sering menjadi pertunjukkan di pesta-pesta masyarakat Arab. Perut para penari itu terbuka hingga kelihatan pusar, dan ketiak mereka pun demikian. Sejauh ini tidak ada kelompok ekstremis Arab yang mengharamkan tari perut.
Ada sebuah cerita dari Kyai Hosein Muhammad dari Cirebon. Ia pernah datang ke Mesir mewakili Indonesia dalam sebuah seminar tentang agama dan kependudukan. Pertemuan di Mesir itu dihadiri oleh perwakilan ulama dari negara-negara Islam. Acara penutupan di adakan di atas sebuah kapal yang berlayar di sungai Nil. Presiden Husni Mubarak menyempatkan diri untuk menutup seminar internasional tersebut. Setelah acara makan malam, para peserta dihibur dengan pertunjukkan kesenian, di antaranya adalah tari perut. Saat tarian perut itu di tampilkan, para ulama yang menyaksikan juga ikut bertepuk tangan mengikuti irama musik. Semua mengagumi keindahan tari perut, dan tak satu pun menganggapnya pornoaksi. Lah di Indonesia, tari jaipong justru dipersoalkan hingga hendak dipermak.
Bukankah tugas utama seorang gubernur adalah meningkatkan disiplin kerja birokrasi, mengatasi korupsi dan pungutan di sana sini, mengatasi daerah aliran hulu sungai Ciliwung sehingga tidak banjir setiap tahun, penegakan hukum, membuka lapangan kerja karena banyak pabrik di Jawa Barat yang mem-PHK karyawan, dan ribuan tugas lainnya. Itu yang penting. Bukan ngurusin Jaipong. Jika goyan, geol dan gitek dihilangkan, tarian itu bukan lagi jaipong melainkan jaipon, tanpa “g”.
Dituis oleh : Muhammad abduh Hisyam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar