Tentu saudara-saudara sudah membaca tulisan di harian Kompas Sabtu pekan lalu. Saya tertarik dengan pribadi Matt Mullenweg karena ia seorang yang sukses dan terkenal di bidang IT walaupun ia bukanlah berlatar pendidikan IT. Ia mengembangkan wordpress karena ia menyukainya. Ibarat sebuah hobi, ia bekerja denga fun; ia melakukannnya karena ia menyenanginya. Ia tentu saja mendapatkan banyak pemasukan finansial dari terbentuknya komunitas wordpress, akan tetapi sebagaimana yang ia katakan kepada wartawan, ia tidak bermaksud mencari uang dari situ. Untuk itu maka ia menggratiskankan wordpress sehingga bisa diakses, dimodifikasi, dan dikembangkan oleh siapa pun dan menjadi milik bersama. Unag bukanlah segala-galanya.
Yang lebih penting lagi adalah, ia sosok yang masih sangat muda. Baru 25 tahun usianya. Akan tetapi ia sudah menjadi sosok yang sangat dihormati dan diperhitungkan dalam industri IT. Ia berlatar pendidikan ilmu sosial, yaitu ilmu politik. Sedangkan hal yang paling membuatnya melakukan dengan serius adalah musik jazz. Jadi ia melakukan itu semua karena panggilan hati, dan bukan sesuatu yang harus kerjakan secara professional. Ia belajar musik, mendirikan wordpress, dan belajar ilmu politik bukan karena ingin menjadi kaya. Ia seorang yang amatir. Amatir bukan berarti tidak menguasai bidangnya. Ia seseorang yang mengerjakan sesuatu bukan karena uang. Ia juga tidak bekerja hanya karena ada hubungan dengan disiplin yang pernah ia pelajari. Ia bekerja karena dorongan hati. Dengan ini Matt sedang melakukan perlawanan terhadap the logic of professionalism.
Profesionalisme seringkali membuat kita terbatasi oleh tembok-tembok yang menjadikan otak kita tidak kreatif. Seorang yang profesional merasa tidak perlu bertindak jika tidak ada bayarannya. Ia juga merasa tidak perlu tahu pelbagai hal di luar bidangnya. Seorang yang berlatarbelakang ekonomi, umpamanya merasa tidak peduli dengan persoalan pertanian atau hukum di negara kita. Seorang yang berlatar belakang kedokteran akan bekerja hanya jika memang ada persoalan di bidang keseahtan, Ia –menurut logika ini— tidak ikut bertanggungjawab dengan persoalan agama atau politik. Padahal dalam hidup, kita tidak bisa membatasi diri kita pada apa yang pernah kita pelajari. Kita harus sekali-kali bertindak amatir.
Untuk itu maka, jangan serahkan persoalan perkembangan keagamaan ini hanya –sekali lagi, hanya-- kepada orang-orang tamatan IAIN atau pesantren saja. Anda yang sarjana pertanian berhak bicara tentang persoalan dakwah di negeri yang kacau balau ini. Untuk itu bersiap-siaplah bertindak secara amatir. Bukan suatu hal yang aneh jika urusan pemerintahan ditangani oleh seorang sarjana kimia. Di Inggris, Margareth Tathcher merupakan salah seorang pemimpin pmerintahan yang berhasil memajukan politik dan ekonomi Inggris, sekalipun ia bukan seorang sarjana ilmu poiltik atau ilmu pemerintahan. Bung Karno adalah seorang arsitek. Akan tetapi karena keadaan, ia berti ndak amatir denganmenjadi pemimpin politik. Jika kita menyerahkan urusan politik kepada mereka yang hanya tamatan ilmu politik, bisa berbahaya. Persoalan politik adalah persoalan yang menyangkut rekayasa sosial dan mempengaruhi arah kehidupan bangsa. Untuk itu anda bebas merdeka dan berhak menangani persoalan-persoalan politik. Amatir tidak berarti asal-asalan.
Jenderal Soedirman, pendiri TNI dan jenderal besar yang diakui PBB (jenderal Indonesia yang diakui PBB hanya dua orang: Soedirman dan AH. Nasution), sebenarnya adalah seorang guru SMP Muhammadiyah. Ia terpilih untuk memimpin tentara karena ia seorang yang selalu memimpin pandu Hizbul Wathan. Ia terpilih bukan karena ia pandai berperang, bukan. Ia terpilih sebagai panglima karena ia seorang yang sangat entengan, khas orang Muhammadiyah. Seusai perang, ia pun ingin kembali mengajar di sekolah. Ia tidak menginginkan apa-apa. Ia bertindak bukan karena mengharap uang atau jabatan politik. Ia tetap sederhana, sementara mantan anak buahnya ramai-ramai minta jabatan karena merasa telah berjasa.
Contoh lainnya adalah Dr. Zaki Yamani. Ia kelahiran Indonesia, tetapi kemudian menjadi Menteri Perminyakan Saudi Arabia, dan pernah menjadi sekjen OPEC sangat yang dihormati sepanjang sejarah, karena mampu menstabilkan harga minyak dunia sehinga negara-negara anggota OPEC memiliki peranan penting baik di bidang ekonomi maupun politik. Apakah Dr. Zaki Yamani ini seorang ahli geologi? Tidak. Ia adalah seorang ustadz sarjana syariah. Bukunya tentang pembaharuan hukum Islam pernah mengundang perdebatan yang penuh pro-kontra, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Seorang guru agama mampu menjadi menteri perminyakan. Ia melakukannnya dengan amatir. Ia bekerja bukan karena ia ahli akan tetapi karena keprihatinan dan keinginan untuk melakukan perubahan. Yang membuat orang-orang itu mampu bekerja dan berprestasi adalah karena keikhlasan. Dr. Yamani adalah seorang yang ikhlas bekerja sekalipun sesungguhnya persoalan minyak bukan bidangnya. Ia sukses karena prihatin dan peduli, serta ikhlas. He is an amateur.
Di Indonesia orang seperti Soedjatmoko yang meninggal saat berceramah di di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), sebuah lembaga yang didirikan oleh Amien Rais dkk., adalah seorang generalis. Ia menulis dan bicara tentang banyak hal. Ia bicara tentang pendidikan, pertahanan, politik, dan hukum internasional. Ia memikirkan persoalan-persoalan tersebut bukan karena ia memang ahli di bidangnya. Tidak. Ia mampu mengupas segala persoalan karena ia prihatin. Semua berangkat dari kepedulian dan keinginan untuk ikut memecahkan masalah bangsa. Konsekwensinya, ia tidak dibayar. Kalupun dibayar, tidak jelas bayarannnya karena semua ia lakukan dengan suka rela. Ikhlas, itu kata kuncinya. Sekalipun ia bicara tentang banyak masalah bukan berarti ia Mr. Know All. Sekali lagi, yang menjadi poin adalah keprihatinannya.
Di Amerika ada seorang yang meyuarakan dengan lantang tentang ketidaksetujuannnya terhadap the logic of professionalism. Orang itu adalah Edward Said, yang sangat terkenal karena kritiknya terhadap orientalisme. Disiplin Edward Said adalah sastera perbandingan. Beliau adalah professor di Universiats Columbia, New York. Ia bertempat tinggal di perumahan elit Manhattan. Ia seorang Arab kelahiran Palestina, namun karena politik zionisme ia kemudian berpindah ke Amerika. Kuliah tentang filsafat moral di Princeton dan melanjutkan ke Harvard. Sekalipun ia berlatarbelakang sastera, akan tetapi ia aktif di pelbagai gerakan hak asasi manusia, terlibat dalam organisasi pencari dana bagi pengungsi, menjadi anggota parlemen Palestina di Pengasingan, menjadi panitia konperesi internasional Palestina di Geneva, bicara tentang psikologi pengungsi, mengeritik ilmu sejarah, berpidato tentang etika, filsafat, dan politik, dan bahkan menulis buku tentang musik. Ia pernah tampil memainkan piano di Broadway bersama musisi Lebanon Diana Takiediene. Ia selalu bangga sebagai seorang yang amatir. Untuk bicara masalah psikologi bangsa Palestina dan bangsa-bangsa lain yang terusir dari tanah airnya, menurut Said, tidak perlu harus seorang sarjana psikologi. Cukup panggilan hati.
Untuk itu saya sangat terinspirasi dengan Matt Mullenweg ini. Ia bekerja bukan karena ingin mendapatkan uang. Ia bekerja karena panggilan hati. Ia bermain jazz, dan belajar ilmu politik. He’s not a professional. He is an amateur. Dan saya kira Matt bangga dengan julukan itu.
dari Abduh Hisyam
Yang lebih penting lagi adalah, ia sosok yang masih sangat muda. Baru 25 tahun usianya. Akan tetapi ia sudah menjadi sosok yang sangat dihormati dan diperhitungkan dalam industri IT. Ia berlatar pendidikan ilmu sosial, yaitu ilmu politik. Sedangkan hal yang paling membuatnya melakukan dengan serius adalah musik jazz. Jadi ia melakukan itu semua karena panggilan hati, dan bukan sesuatu yang harus kerjakan secara professional. Ia belajar musik, mendirikan wordpress, dan belajar ilmu politik bukan karena ingin menjadi kaya. Ia seorang yang amatir. Amatir bukan berarti tidak menguasai bidangnya. Ia seseorang yang mengerjakan sesuatu bukan karena uang. Ia juga tidak bekerja hanya karena ada hubungan dengan disiplin yang pernah ia pelajari. Ia bekerja karena dorongan hati. Dengan ini Matt sedang melakukan perlawanan terhadap the logic of professionalism.
Profesionalisme seringkali membuat kita terbatasi oleh tembok-tembok yang menjadikan otak kita tidak kreatif. Seorang yang profesional merasa tidak perlu bertindak jika tidak ada bayarannya. Ia juga merasa tidak perlu tahu pelbagai hal di luar bidangnya. Seorang yang berlatarbelakang ekonomi, umpamanya merasa tidak peduli dengan persoalan pertanian atau hukum di negara kita. Seorang yang berlatar belakang kedokteran akan bekerja hanya jika memang ada persoalan di bidang keseahtan, Ia –menurut logika ini— tidak ikut bertanggungjawab dengan persoalan agama atau politik. Padahal dalam hidup, kita tidak bisa membatasi diri kita pada apa yang pernah kita pelajari. Kita harus sekali-kali bertindak amatir.
Untuk itu maka, jangan serahkan persoalan perkembangan keagamaan ini hanya –sekali lagi, hanya-- kepada orang-orang tamatan IAIN atau pesantren saja. Anda yang sarjana pertanian berhak bicara tentang persoalan dakwah di negeri yang kacau balau ini. Untuk itu bersiap-siaplah bertindak secara amatir. Bukan suatu hal yang aneh jika urusan pemerintahan ditangani oleh seorang sarjana kimia. Di Inggris, Margareth Tathcher merupakan salah seorang pemimpin pmerintahan yang berhasil memajukan politik dan ekonomi Inggris, sekalipun ia bukan seorang sarjana ilmu poiltik atau ilmu pemerintahan. Bung Karno adalah seorang arsitek. Akan tetapi karena keadaan, ia berti ndak amatir denganmenjadi pemimpin politik. Jika kita menyerahkan urusan politik kepada mereka yang hanya tamatan ilmu politik, bisa berbahaya. Persoalan politik adalah persoalan yang menyangkut rekayasa sosial dan mempengaruhi arah kehidupan bangsa. Untuk itu anda bebas merdeka dan berhak menangani persoalan-persoalan politik. Amatir tidak berarti asal-asalan.
Jenderal Soedirman, pendiri TNI dan jenderal besar yang diakui PBB (jenderal Indonesia yang diakui PBB hanya dua orang: Soedirman dan AH. Nasution), sebenarnya adalah seorang guru SMP Muhammadiyah. Ia terpilih untuk memimpin tentara karena ia seorang yang selalu memimpin pandu Hizbul Wathan. Ia terpilih bukan karena ia pandai berperang, bukan. Ia terpilih sebagai panglima karena ia seorang yang sangat entengan, khas orang Muhammadiyah. Seusai perang, ia pun ingin kembali mengajar di sekolah. Ia tidak menginginkan apa-apa. Ia bertindak bukan karena mengharap uang atau jabatan politik. Ia tetap sederhana, sementara mantan anak buahnya ramai-ramai minta jabatan karena merasa telah berjasa.
Contoh lainnya adalah Dr. Zaki Yamani. Ia kelahiran Indonesia, tetapi kemudian menjadi Menteri Perminyakan Saudi Arabia, dan pernah menjadi sekjen OPEC sangat yang dihormati sepanjang sejarah, karena mampu menstabilkan harga minyak dunia sehinga negara-negara anggota OPEC memiliki peranan penting baik di bidang ekonomi maupun politik. Apakah Dr. Zaki Yamani ini seorang ahli geologi? Tidak. Ia adalah seorang ustadz sarjana syariah. Bukunya tentang pembaharuan hukum Islam pernah mengundang perdebatan yang penuh pro-kontra, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Seorang guru agama mampu menjadi menteri perminyakan. Ia melakukannnya dengan amatir. Ia bekerja bukan karena ia ahli akan tetapi karena keprihatinan dan keinginan untuk melakukan perubahan. Yang membuat orang-orang itu mampu bekerja dan berprestasi adalah karena keikhlasan. Dr. Yamani adalah seorang yang ikhlas bekerja sekalipun sesungguhnya persoalan minyak bukan bidangnya. Ia sukses karena prihatin dan peduli, serta ikhlas. He is an amateur.
Di Indonesia orang seperti Soedjatmoko yang meninggal saat berceramah di di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), sebuah lembaga yang didirikan oleh Amien Rais dkk., adalah seorang generalis. Ia menulis dan bicara tentang banyak hal. Ia bicara tentang pendidikan, pertahanan, politik, dan hukum internasional. Ia memikirkan persoalan-persoalan tersebut bukan karena ia memang ahli di bidangnya. Tidak. Ia mampu mengupas segala persoalan karena ia prihatin. Semua berangkat dari kepedulian dan keinginan untuk ikut memecahkan masalah bangsa. Konsekwensinya, ia tidak dibayar. Kalupun dibayar, tidak jelas bayarannnya karena semua ia lakukan dengan suka rela. Ikhlas, itu kata kuncinya. Sekalipun ia bicara tentang banyak masalah bukan berarti ia Mr. Know All. Sekali lagi, yang menjadi poin adalah keprihatinannya.
Di Amerika ada seorang yang meyuarakan dengan lantang tentang ketidaksetujuannnya terhadap the logic of professionalism. Orang itu adalah Edward Said, yang sangat terkenal karena kritiknya terhadap orientalisme. Disiplin Edward Said adalah sastera perbandingan. Beliau adalah professor di Universiats Columbia, New York. Ia bertempat tinggal di perumahan elit Manhattan. Ia seorang Arab kelahiran Palestina, namun karena politik zionisme ia kemudian berpindah ke Amerika. Kuliah tentang filsafat moral di Princeton dan melanjutkan ke Harvard. Sekalipun ia berlatarbelakang sastera, akan tetapi ia aktif di pelbagai gerakan hak asasi manusia, terlibat dalam organisasi pencari dana bagi pengungsi, menjadi anggota parlemen Palestina di Pengasingan, menjadi panitia konperesi internasional Palestina di Geneva, bicara tentang psikologi pengungsi, mengeritik ilmu sejarah, berpidato tentang etika, filsafat, dan politik, dan bahkan menulis buku tentang musik. Ia pernah tampil memainkan piano di Broadway bersama musisi Lebanon Diana Takiediene. Ia selalu bangga sebagai seorang yang amatir. Untuk bicara masalah psikologi bangsa Palestina dan bangsa-bangsa lain yang terusir dari tanah airnya, menurut Said, tidak perlu harus seorang sarjana psikologi. Cukup panggilan hati.
Untuk itu saya sangat terinspirasi dengan Matt Mullenweg ini. Ia bekerja bukan karena ingin mendapatkan uang. Ia bekerja karena panggilan hati. Ia bermain jazz, dan belajar ilmu politik. He’s not a professional. He is an amateur. Dan saya kira Matt bangga dengan julukan itu.
dari Abduh Hisyam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar