19 April, 2011

Sholat Jum'at Bagi Perempuan

Shalat Jum’at

Bagi Perempuan


Oleh Drs. H Ismail Thaib*)

Suatu realitas yang harus diakui bahwa umat Islam di berbagai negeri Islam begitu merasuk dengan pendapat Jumhur Ulama, menafikan pendapat selain Jumhur, terutama pendapat Ulama-ulama Ahli Hadits yang kritis dan kepakarannya diakui dunia Islam. Seperti As Sayyid Rasyid Ridha, Al Ustadz Sayyid Muhammmad Ahmad Syakir, Al-Allamah Ibnu Hazm, Imam Asy-Sayukani, dan di kalangan sahabat yaitu Abdullah bin Abbas ra.

Di Indonesia, ada dua orang ahli hadits yang mencoba meng-counter pendapat Jumhur ulama dan cenderung kepada pendapat selain (ghairu) Jumhur, yaitu guru al-Faqir Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dan al-Ustad Muhmmad Ma’shum, tetapi suara kedua Ahli hadits ini tenggelam, kurang mendapat sambutan dan berlalu begitu saja.

Dalam uraian ini, penulis mencoba mendudukkan masalah Shalat Jum’at, khususnya Shalat Jum’at bagi perempuan, secara proporsional dan seobyektif mungkin, bertopang kepada dalil-dalil yang kuat (rajih).

Sebenarnya ada lima belas hadist yang berbicara sekitar shalat jum’at, jama’ahnya dan orang-orang yang wajib mengerjakannya. Tetapi setelah penulis seleksi ada tiga atau empat hadits yang perlu pembahasan yang mendalam di samping ayat 9 surat Al-Jum’at (62).

Sebelum kita memuat sorotan terhadap pendapat yang sudah dominan di kalangan kaum Muslimin yang mengikatkan diri dengan pendapat mayoritas para ulama (Jumhur) maka perlu kita ketahui, menurut jumhur ulama, shalat Jum’at tidak wajib bagi perempuan, orang sakit, dan musafir. Tetapi shalat Jum’at hanya dibebankan kepada orang laki-laki yang merdeka, telah sampai umur (baligh), dan menetap di kampung (muqim).

Dasar pijakan mereka ayat 9 surat Al-Jum’at (62)) dan Hadits dari Thariq bin Syihab, Abu Musa Al-Asyari, dan beberapa Hadits Dlaif lainnya. Dalam Hadits Thariq bin Syihab yang diriwayatkan Abu Daud dan lain-lainnya, disebutkan Nabi bersabda :” Shalat Jum’at itu sungguh-sungguh wajib bagi setiap orang Islam dengan berjama’ah, kecuali bagi empat orang yakni: hamba sahaya, orang perempuan, anak kecil, dan orang sakit.”(HR. Abu Daud)

Terhadap hadits Thariq bin Syihab, Imam Al-Bukhari menganggap Hadits ini “mu’allaq” (bergantung). Menurut Al Manawi, bahwa sebagian ulama Ahli Tahqiq menolak hadits itu. Sebab, di dalam sanad-nya terdapat Abbas bin Abd. Al Adhim di mana Imam Al Bukhari tidak mengeluarkan hadits daripadanya, kecuali dengan jalan mu’allaq.

Dalam sanad hadits tersebut juga terdapat nama Huraim bin Sufyan Al Bujali yang menurut penilaian Al Bazzar, sekalipun “baik” tetapi “tidak kuat.” Yang dimaksud dengan istilah “baik”, hadits ini ditulis sebagai perbandingan (i’tibar). Hal tersebut sebagaimana disebutkan As-Suyuti dalam kitab Tadrib Ar Rawi. Sedangkan “tidak kuat” riwayatnya, itu berarti hadits itu cacat, sebagaimana lazimnya pengertian dari Ahli-ahli Hadits.

Oleh karena itu, tidak mengerankan bila Imam Al- Khaththabi mengatakan isnad Hadits ini tidak kuat (Ma’alimun Sunnan I: 123). Dikatakan oleh Ibnu Rusyd (pengarang kitab Bidayah Al-Mujtahid), sebagian ulama hadits menganggap hadits tersebut tidak shahih. Yang menjadi sorotan pokok dalam hadits ini ialah pribadi Thoriq bin Syihab itu sendiri yang tetap diperselisihkan sebagai sahabat Nabi.

Abu Hatim mengatakan, dia tidak bergaul dengan Nabi dan hadits-hadits yang diriwayatakan itu tergolong mursal (lepas/tidak dihiraukan); demikian pula pendapat Imam Baihaqi. Sedangkan Abu Daud mengatakan bahwa Thariq mengetahui Nabi, tetapi tidak mendengar sama sekali hadits-hadits dari Nabi saw.

Hadits Mursal Sahabiy oleh Jumhur Ulama dijadikan hujjah, tetapi menurut sebagian ulama yang lain seperti Imam Asy-Syafi’i, Imam Daud bin Ali, Abu Ishak Al-Farayimi, Abu Bakar Al-Baqilani, As Sayyid Rasyid Ridha, Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Ustad Muhammad Ma’shum juga Imam Ibnu Hazm, bahwa hadits Mursal Shahaby itu tidak dapat untuk hujjah (argumentasi).

Dikatakan oleh Al-Hafid Al-Asqalani di dalam muqqadimah kitab Lisan Al-Mizan jilid 1: 4, Wallahi, teranglah bagi orang yang berargumentasi dengan hadits mursal itu timbul ada permulaan Islam (sesudah wafat Nabi). Hal itu merupakan kebiasaan dan diprakarsai oleh kaum Khawarij, ketika para sahabat masih banyak jumlahnya (yang masih hidup) dan begitu juga di masa tabi’in dan seterusnya. Orang-orang Khawarij jika menganggap sesuatu perkara itu baik, lalu dijadikannya semisal hadits dan disebarkannya, yang selanjutnya didengar oleh orang ahli yang senang kepada Sunnah, lalu mereka mengucapkannya tanpa menyebutkan rawi-nya, dengan alasan berbaik sangka (husnudzdzan) terhadap yang diriwayatkannya, yang akhirnya dijadikan argumentasi dengan Hadits tadi sudah putus rawinya itu; seerti yang aku sebutkan tadi La haula wala quwwata illa billah,” demikian tulis Al-Asqalani.

Berdasar keterangan tersebut, jelaslah bahwa riwayat Thariq bin Shihab tidak dapat dijadikan argumentasi untuk memutuskan perbedaan pendapat. Baca pula keterangan Ibnu Hazm tentang tidak boleh dijadikan argumentasi (hujjah) dengan hadits mursal Shahabiy (Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam II: 2).

Mengenai hadist Abu Musa al-Asy’ari (isnya sama dengan Hadits Thariq bin Syihab) yang terdapat dalam kitab Al Mustadrak karangan al Hakim, dapat diberi penjelasan singkat sebagai berikut : Jamaluddin Al Qasimiy menerangkan di dalam bukunya Qawaid at Tahdist, telah berkata Imam Zaila’i pada waktu mengeluarkan Hadits Hidayah: berkata Rahyah dalam kitab Al-Ilmu Al-Mashyur, “ Wajib bagi ahli bersikap hati-hati terhadap perkataan Al Hakim, sebab banyak kesalahannya serta gugur haditsnya dan telah banyak orang yang lupa sesudahnya dan lalu menjadi taklid kepadanya.” (Qawaid At Tahdist, hal. 235)

Dikatakan oleh Al-‘Aini, bahwa Imam Al Hakim itu telah dikenal menganggap mudah hadits-hadits dan mensahihkan hadits-hadits dlaif, bahkan juga mensahihkan hadits maudlu’ (palsu).

Imam Suyuti di dalam ulasan terhadap Ibnu Jauzi, bahwa Ibnu Hajar pernah berkata: ” Berhubung Imam Jauzi dan Imam Hakim menganggap mudah masalah Hadits, hal itu justru mengurangi kemanfaatan kitab keduanya. Maka dari itu, wajib bagi orang yang benar-benar meneliti hadits, memperhatikan kutipan-kutipan dari kitab kedua orang tersebut, tidak hanya bertaklid kepada kedua Imam itu.”

Kemudian perlu diperhatikan mengenai guru Al-Hakim, yaitu Abu Bakar bin Ishak Al Faqih, riwayat hidupnya tidak jelas; artinya tidak dikenal dalam kitab-kitab yang menyelidiki perkara para rawi hadits, apakah dia dianggap tercela ataukah tidak (adil). Demikian pula guru Al Hakim yang bernama ‘Ubaid bin Muhammad, itupun belum terang riwayatnya, dan beliau ini tanpa rawi lainnya tergolong syadz (menyendiri) dengan tambahan Thariq bin Syihab dari Abu Musa Al-Asy’ari. Padahal, tambahan rawi yang belum dikenal riwayat hidupnya tidak dapat diterima haditsnya.

Para Imam Ahli Hadits selain Al Hakim, misalnya Al Bazzar, Imam ‘Adi, Abu Daud, Daruquthni, dan Al-Baihaqi meriwayatkan hadits tersebut dari jalan Huraim bin Sufyan Al Bujali dari Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir dari Qais bin Muslim dan Thariq bin Syihab saja.

Maka dari itu, Al-Baihaqi meriwayatkan hadits tersebut sebagai berikut: ’Ubaid bin Muhammad Al ‘Ajali dari Abbas bin Abd. Al Adhim menyebutkan Abu Musa Al Asy’ari, itu termasuk hadist yang tidak terpelihara (mahfudz) dan selain Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abas Bin Abd. Al Adhim tanpa menyebutkan Abu Musa Al Asy’ari.

Al Hafidz Asqalani berkomentar : jika Imam Al Hakim telah mengeluarkan hadist melalui jalan yang mengatakan dari Thariq dari Abu Musa Al Asy’ari. Ulama-ulama menyalahkan Al-Hakim pada jalan tadi. Wallahu’alam. (Al-Ishabah II:220).

Dengan uraian singkat terhadap kedua hadits itu, yang dipegangi Jumhur, nyata benar kelemahannya. Para muhaqqiqin (para peneliti) mengatakan, sesungguhnya shalat Jumat itu wajib atas mu’min, laki-laki, perempuan, merdeka, budak sahaya, baik dalam keadaan sehat atau sakit, bermukim atau dalam bepergian (safar), penduduk kota ataupun penduduk padang gurun, selama mereka masih berakal sehat. Mereka berargumentasi dengan firman Allah ayat 9 surat al-Jum’at (62). Titah (khitab) syara’ yang dikandung ayat itu mencakup laki-laki dan perempuan. Bagitu yang dipahami oleh ulama-ulama Ushul yang terkenal.

Shalat Jum’at disyariatkan dua rakaat sebagaimana disebut dalam hadits Umar, yaitu shalat Safar dua rakaat, Shalat Hari Raya Kurban dua rakaat, Shalat hari Raya Fitri dua rakaat, Shalat Jum’at dua rakaat sempurna bukan dipendekkan berdasarkan ketetapan Allah dengan perantaraan lisan (lidah) Nabi Muhammad saw.

Ibnu Al-Qayyim berpendapat kalau hadits itu benar dari Umar ra adalah shahih. Menurut Ibnu Katsir, hadits Umar itu memakai isnad menurut Imam Muslim (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an II: 560). Imam Ahmad menetapkan Hadits Umar itu Muttasil. Imam Nawawi dalam akhir uraiannya menerangkan bahwa sanad-nya shahih.

Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa hadits Umar itu rawi-rawinya termasuk rawi-rawi hadits shahih dan Imam Ahmad serta Ibnu Main menguatkan. Al-Ajali mengatakan bahwa rawi yang bernama Yazid bin Ziyad itu dapat diercaya. Abu Zar’ah mengatakan bahwa rawi tersebut (Yazid bin Ziad) termasuk rawi yang berderajat tua. Demikian pula kata Abu Hatim bahwa hadits itu baik. Demikian pula Ibnu Hibban menyebutkan Yazid bin Ziyad adalah dapat dipercaya (al-Majmu’ IV:342; Zad al-Maad I: 128; Nail al-Authar III: 250)

Menurut hadits Umar itu semua shalat yang disebut dalam hadits tersebut dikerjakan dua rakaat, baik sendiri atau berjamaah. Apabila seseorang karena ada udzur syar’i, serta ketakutan, sakit, hujan dan lainnya maka hendaklah dikerjakan shalat Jum’at itu di rumahnya. Baik secara berjamaah dengan keluarganya atau sendirian tetapi harus mengerjakan shalat Jumat bukan shalat Dhuhur.

Sedangkan kehadiran para perempuan ke masjid adalah suatu rukhsah bukan ‘azimah. Karenannya apabila orang perempuan menghadiri jamaah Jum’at bersama kaum laki-laki di masjid, maka itu suatu perbuatan yang baik. Jika tidak ke Masjid, mereka mengerjakan di rumahnya dan sangat baik bila mereka berjamaah, mengingat hadits yang menerangkan bahwasanya shalat berjamaah melebihi shalat sendirian dengan 27 derajat.

As-Sayyid Ahmad Muhammad Syakir dalam mengomentari perkataan Ibnu Hazm berkata, “Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendaat yang menetapkan bahwa Shalat Juma’atphanyalah dua rakaat, baik berjamaah ataupun sendirian, mengingat kemutlakan hadits Umar. Menamakan hari itu dengan hari Juma’at lantaran manusia berkumpul tidaklah menghalangi memerlukan dua rakaat atau tidak ke masjid. Dan bukanlah dinamakan shalat Jum’at lantaran harus dikerjakan berjamaah. Dinamakan shalat Jum’at karena ia shalat hari Jum’at sebagaimana yang dititahkan dalam ayat 9 surat al-Jum’at (62). Pengertian ini adalah suatu pengertian yang sangat mendalam dan memerlukan perenungan dan pemahaman (Al-Muhalla V:46)

Mungkin timbul pertanyaan, apakah perempuan boleh melakukan adzan, iqamah serta bertindak sebagai khatibah dalam shalat Jum’at berjamaah sesama perempuan? Penulis menemukan sejumlah dalil yang shahih bahwa orang peremuan boleh melakukan adzan dan iqamah dalam shaat berjamaah bersamanya. Dari Thaus r.a. diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla juz III hal. 129. Hadits yang kita maksudkan itu, sekalipun mauquf, tapi dapat menjadi pegangan karena makna itu didukung dan diperkuat oleh Hadits yang marfu’ yang umum mengenai adzan. Bahkan dibantu oleh hadits yang menyatakan Ummu Waraqah beradzan dan beriqamah dan mengadakan shalat berjamaah perempuan di rumahnya. Adaun hadits yang diriwayatkan oleh An-Najjar yang menyatkan Nabi meniadakan adzan dan iqamah bagi perempuan adalah lemah. Imam Asy-Syafi’i membolehkan seorang perempuan beradzan dan beriqamah. Hal ini diikuti pula oleh sebagian ulama dalam mazhab Syafi’i seperti diterangkan oleh An-Nawawi. Imam Ahmad ibnu Hanbal tidak berkeberatan bila orang perempuan melakukan adzan dan iqamah. Bahkan menurut Ibnu Hazm dipandang bagus bila para perempuan mengumandangkan adzan dan iqamah.

Dengan uraian singkat ini, tidaklah berlebihan bila penulis berkesimpulan bahwa tidak ada dalil yang mengellluarkan kaum perempuan atau mengecualikan mereka dari beradzan dan beriqamah, karena perintah itu mencakup mereka juga, bukankah perempuan itu mitra orang laki-laki (syaqaiq ar-rijal). ***

*) Drs. H. Ismail Thaib adalah dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Ketua Bagian Fatwa, Hisab, dan Tafsir Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, periode 2000-2005. Makalah ini pernah didiskusikan di forum Majelis Tarjih se-Karesidenan Kedu, bertempat di Magelang th. 2006, dan dimuat di Suara Muhammadiyah, No. 21 tahun ke­91/1­15 Nopember 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar