Ada sebuah pertanyaan lewat facebook, mengapa di Muhammadiyah tidak lazim diadakan peringatan maulid Nabi.  Jawabannya, karena warga Muhammadiyah tidak ingin mengkultuskan Nabi.  Nabi Muhammad tidak perlu diagung-agungkan hari kelahirannya,  yang perlu dilakukan umat Islam adalah mencontoh perilaku beliau.    Banyak orang memperingati  hari kelahiran  Nabi, yang dikenal dengan maulud atau maulid, dengan pelbagai cara.  Mereka ada yang berkeyakinan bahwa memperingati maulid Nabi adalah sebuah kewajiban agama, dan menganggap aneh orang Islam yang tidak ikut merayakan maulid Nabi.  Sesungguhna peringatan maulid Nabi adalah persoalan muamalah duniawiyah, dan tidak berkaitan dengan ibadah mahdhah.  Jika menganggap perayaan maulid Nabi adalah bagian dari ibadah mahdhah, itu adalah perbuatan bid'ah.  Dan bid'ah adalah sesat.

Di  Tegal milad Nabi diperingati  sejak tanggal 1 hingga 12 Rabiul Awwal.  Tiap malam warga membaca syair-syair karya Syeikh Ja’far  al-Barzanji.  Puncaknya adalah tanggal 12 Rabiul Awwal dari maghrib hingga tengah malam, dan diteruskan pagi hari hingga malam di tanggal 13 Rabiul Awwal.  Sungguh ramai peringatan milad Nabi.  Saat kecil saya bersama kawan-kawan anak tetangga  sering berada di masjid dan ikut membaca al-Barzanji meski kami tidak mengetahui artinya.  Saya sebetulnya tidak membaca melainkan ikut-ikutan teriak saja dengan suara keras.   Mungkin karena lingkungan di sekitar rumah semuanya merayakan maulid Nabi maka saya akrab dengan syair al-Barzanji.  Ingatkah kalian dulu kita sering menyanyikan syair al-Barzanji.  Saya tidak pernah tahu bahwa tiap kali membaca asyraqal badru ‘alaina, diharuskan untuk berdiri.  Selama ini bapak tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. 
 
Hari Sabtu kemarin saya sekeluarga berkunjung ke Tegal.   Tiba di sana ba’da maghrib, langsung saja di sekitar rumah terdengar suara pembacaan al-Barzanji dan tahlil bersahut-sahutan lewat pengeras suara yang memekakkan telinga.  Maklum jarak antara dua masjid dengan rumah bapak hanya sekitar 100 meter saja.   Luar biasa bisingnya.  Saya sekeluarga tidak bisa tidur hingga tengah malam.   Sungguh amat mengganggu.  Bude Ana bertanya mengapa mereka tidak ditegur agar tidak menggunakan sound sistem bervolume tinggi.   Jawabku, “paling-paling kamu akan dituduh Wahabi.” 

***

Saat subuh tiba, saya mengayuh sepeda ke sebuah mushala Zulfikar sekitar 1 km dari rumah.  Mushala itu milik ranting Muhammadiyah Slerok, dan bapak imam tetap mushala tesebut.  Mushala itu cukup indah sekalipun arsitekturnya sederhana.  Tampak menyatu dengan lingkungan, dan yang mengejutkanku,  mushala ini tidak dilengkapi dengan  sound sistem.  Adzan tidak pernah diperdengarkan dengan pengeras suara.  Tenang  sekali mushala itu.   Ini kontras dengan mushala-musahala lain yang selalu berlomba-lomba mengumandangkan doa atau puji-pujian menjelang iqamah dengan suara keras. Apalagi saat musim maulid Nabi seperti sekarang. 

Mengapa pelaksanaan peringatan maulid Nabi mengganggu kenyamanan lingkungan?   Warga di sekitar masjid atau mushala tidak bernai menegur karena takut dituduh anti Nabi, bahkan bisa jadi dituduh Wahabi.     Tidak bisakah para pengelola masjid dan mushala mengatur penggunaan sound system sehingga hanya digunakan saat-saat tertentu saja? Apakah doa harus disuarakan keras-keras menggunakan pengeras suara?  Bukankah tuntunan berdoa menurut al-Qur’an adalah dengan  “suara pelan dan perasaan haru.”  Rupanya para pengelola masjid dan mushala belum memahami ayat tersebut.  Tergugahkah para ulama untuk menegur mereka?  Sayang sekali jika mereka tidak berani mengur –bukankah mereka tidak perlu khawatir dituduh Wahabi?
__._,_.___


__,_._,___