04 Januari, 2019

Warung Burjo Klebengan by Nadia Elasalama






Pagi ini lidah lapar, merindukan citarasa indomie rebus cabe rawit. Maka pukul 07.30, saya pergi ke warung burjo di Klebengan. Tidak masak mie di asrama sebab di sana, memasak dan memakan mie merupakan hal yang lumayan tabu. Selain itu, rasa indomie ala burjo adalah yang terbaik.

Saya memarkirkan motor, lalu seorang pria paruh baya mendekat dan bertanya kepada saya, "Di sini ada sarapan?" lalu saya mengangguk, "Iya." Lalu kami masuk ke dalam.

"Indomie rebus, pake cabe rawit, gak pake telor, itu aja," pesan saya pada Aa. Aa adalah panggilan para waiter burjo. Kenapa Aa, karena hampir semua pekerja burjo berasal dari Sunda. Para Aa burjo layaknya suatu paguyuban. Kalau libur lebaran mereka mudik dan dijamin, semua burjo di Jogja serempak tutup!

Pada hamparan meja-meja panjang dengan banyak kursi plastik, saya memilih duduk di pojok salah satu meja.
"Kuliah di mana, Dik?" terdengar suara dari belakang. Ah, itu pasti pertanyaan untuk saya. Benar, 'bapak-bapak' tadi yang bertanya.

"UGM, Pak,"
"Ayo, duduk sini. Kita bincang-bincang,"
Seketika saya teringat karakter Bapak; suka menyapa, mengajak bicara anak-anak muda di kereta. Saya berpindah, mengambil jarak beberapa kursi di hadapan Bapak itu dengan posisi serong. Waspada pada orang asing, berusaha ramah, jangan fobia, jangan tampak bodoh.


*Bersambung.*
Saya bisa membayangkan betapa kecewanya Bapak pada beberapa kesempatan saat mengajak bicara para mahasiswa di kereta. Ada yang ketika ditanya dari jurusan mana, lalu berkata dengan malu-malu, "saya jurusan X, tapi sebenernya gak pengin di situ." Adapula yang tiap kali Bapak bertanya, "Tahu soal ini nggak? Tahu soal itu nggak?" hanya senyum-senyum dan berkata, "Nggak tahu, Pak. Nggak tahu, Pak. Dan nggak tahu lagi."

Pastilah Bapak prihatin. Tapi juga tentu saja pemuda-pemudi itu malu, dan agak sebal.

Nah, saya selalu belajar dari situ.

Dialog kami cukup interaktif. Beliau dari Cilegon, punya putri sebaya dengan saya di jurusan Psikologi UGM, sedang berkunjung ke Jogja dan akan menghadiri sebuah acara. Beliau bertanya tentang perkuliahan, tempat tinggal, orangtua, dan hal-hal terkait. Saya juga menanyakan pada beliau tentang perkulihan, tempat tinggal, dan hal-hal terkait.

Bukan pembicaraan yang serius, namun juga tidak terlalu basi.

Ternyata, ada keterkaitan antara kami. Sahabat sejurusan saya yang berasal dari Cilegon, orangtuanya kenal baik dengan keluarga Bapak ini.

"Oh, kamu teman Dimitri? Saya satu perusahaan sama Papa Dimitri,"
"Krakatau Steel?"
"Betul."

Wow, kebetulan sekali.

Setelah selesai makan, tiba-tiba beliau memanggil Aa dari jauh, bertanya, "Berapa?" Seraya menunjuk mangkuk mi beliau, ternyata juga menunjuk mangkuk di hadapan saya! Kemudian beliau melangkah ke kasir untuk membayar, saya masih terbengong-bengong di tempat duduk.

Sebagian diri saya berpikir: Alhamdulillah, rezeki..
Sebagian diri saya juga berpikir:
Aduh, gimana nih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar