15 April, 2020

Revolusi Ilmu- Kesan pada Buku Artificial Intelligence

REVOLUSI ILMU

Oleh Abduh Hisyam

Artificial Intelligence. Sebuah buku serius. Seorang  guru ngaji dari kampung seperti saya tentu tidak faham saat membaca buku itu.  Namun ah, saya coba baca buku itu. Baru beberapa halaman saya baca, saya tergelitik saat tidak menemukan nama-nama Anglo Saxon atau Jerman di deretan ilmuwan yang menjadir eferensi buku tersebut.  Nama-nama para ilmuwan yang ditulis di buku tersebut adalah LA Zadeh, HA Abbas (Iran), de Castro (Amerika Latin), Xinyu Du, Qillian Chen dan Hao Ying (Cina), Tereshko Loengarov (Rusia), Subramani dan Debojyoti (India).  Tidak ada nama-nama  Robert atau George yang khas Anglo Saxon, atau Ludwig dan Jurgen yang khas Jerman.  Padahal selama ini, rasanya tidak sah bicara tentang iptek tanpa menyebut ilmuwan Jerman atau Anglo Saxon. 

Saya telpon Prof Imam dan saya tanyakan mengapa ia hanya mencantumkan karya para intelektual dunia ketiga dalam daftar referensi.  Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia memang sengaja tidak mencantumkan ilmuwan Anglo Saxon atau Jerman.  Ia beberkan  bahwa ia sedang menggiring  para pembacanya ke arah paradigma tertentu.  Ia dengan penuh keyakinan mengatakan, itulah yang dilakukan oleh Imam Alghazali ketika menulis Ihya Ulumiddin(?).  Jika saya menyebut ilmuwan Jerman dalam karya saya, maka saya hanya sebuah sekrup dalam mesin raksasa.  Dan selamanya kita akan menjadi sekrup. 

Di telinga saya Imam Robandi bicara tentang sebuah ideologi.  Ideologi kaum tertindas. Ideologi perlawanan atas hegemoni Eropa dan Anglo Saxon di bidang ilmu dan teknologi.  Inilah perawanan periferi atas center.  Sebuah wacana yang mengingatkan saya kepada Samir Amin dan  Andre Gunder Frank dengan teori dependensianya.  Teori pembangunan yang sudah tidak lagi dibicarakan orang, namun cukup pas untuk mengupas upaya negara-negara industri menjadikan negara dunia ketiga tergantung kepada mereka.

Saat mahasiswa saya pernah memabca sepintas buku The Structure of Scientific Revolution karya Thomas Kuhn.  Di dalam buku itu Kuhn menjelaskan bahwa Suatu pengetahuan disebut ilmiah bukan karena pengetahuan itu mampu memecahkan sebuah masalah. Tidak!  Yang menjadikan sebuah statemen, penemuan, atau informasi ilmiah adalah paradigm.  Dan paradigm dibangun dengan kekuasaaan.   Maka perkembangan ilmu pengetahuan bukan karena ilmu itu memang sahih, melainkan karena adanya dana yang besar, komunitas yang selalu membicarakannya, seminar-seminar, penerbitan buku-buku, jurnal, dan sebagainya.

Selama ini penemuan dan prestasi serta karya para ilmuwan di dunia ketiga –termasuk Indonesia— lenyap dan tidak pernah terdengar di dunia sains, sementara karya-karya para ilmuwan Amerika dan Eropa selalu menghiasi jurnal  internasional bergengsi dan buku-bukunya laku keras di pasaran dunia.  Apakah ilmu yang dihasilkan para ilmuwan dari dunia ketiga termasuk Indonesai tidak ilmiah? Semua karena tidak adanya daya dukung berupa pendanaan, komunitas serta  dukungan politik.

Mempromosikan karya para ilmuwan dunia ketiga adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap hegemoni Eropa dan Amerika.  Ini adalah perang ideologi.  Para ilmuwan Iran, India, Indonesia, Malaysia, Nigeria adalah ilmuwan cerdas dan menghasilkan penemuan yang orisinil.  Tetapi mereka tidak punya komunitas yang mempromosikan penemuan mereka.  Tidak ada biaya untuk menerbitkan karya mereka dan tidak ada komunitas yang memperkuat penemuan itu.  Alhasil penemuan mereka tidak dibaca orang, dan diabaikan oleh dunia akademik.

Sebuah komunitas yang saling mereview, mengeritik, dan mengutip mutlak perlu demi eksistensi ilmu yang mandiri.  Di dunia modern dikenal kelompok-kelompok ilmuwan dengan nama “The Vienna Circle,”  “Club of Rome,”  “The Frankfurt School,”  “The American Creed,” sebagaimana di dunia Islam dahulu pernah dikenal “Ikhwan al-Shafa.” Semua adalah kelompok episteme.

IRO-group ini adalah sebuah komunitas episteme. Dari sinilah kita merancang revolusi! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar