05 Agustus, 2020

Warisan Nabi Ibrahim

Kultum Nadia Elasalama
5 Agustus 2020

Disarikan dari kajian Yaqeen Institute for Islamic Research

Pada setiap doanya, kebaikan Nabi Ibrahim begitu luas mengalir untuk orang-orang yang beriman. Namun, bagimana doa untuk mereka yang tidak beriman, dan pesan-pesan apa yang bisa kita jadikan teladan untuk menghadapi hal ini?

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”. "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"
(QS Al-mumtahanah: 4-5).

Saat perang Uhud, Rasulullah sekarat karena wajahnya dilukai. Umat muslim mendekati kekalahan —hampir tidak ada harapan lagi. Kaum Kafir Quraisy hampir menang. Pada kondisi tersebut, Rasulullah berdoa 'Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka orang-orang yang belum mengerti.'” (HR. Bukhari)

Ini merupakan perhatian Nabi SAW, sebab:
1. Jika mereka menang, mereka akan percaya bahwa mereka ada dalam kebenaran. Bagi mereka, kita adalah pihak yang bersalah.
2. Jika kita bertindak melawan mereka dengan keburukan, kita semakin menjauhkan mereka dari kebenaran.
3. Dakwah ada dalam tindakan kita.
4. Sikap dan akibat tindakan kita, akan dipertanggungjawabkan (hubungan antara diri masing-masing dan Allah SWT).
5. Kita adalah representasi dari keyakinan kita, maka harus benar-benar berpikir mendalam terhadap setiap tindakan.

Refleksi hadist:
Abu Masud: “Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” (HR. Muslim no. 465)

Dalam hal ini, Mu’adz memiliki tanggung jawab untuk lebih memperhatikan kesanggupan makmum dan jangan sampai menyakiti hati orang tersebut. Hal ini untuk menjaga umat tetap nyaman dan tidak lari dari Islam. Sedangkan bagi sang makmum, sikapnya meninggalkan jamaah merupakanpertanggungjawaban dirinya sendiri kepada Allah.

Sebagai muslim, setiap tindakan adalah dakwah. Kita harus memiliki sensitivitas dan profesionalitas tinggi dalam mencerminkan iman kita, baik kepada mereka yang sudah beriman (untuk meningkatkan ketakwaan mereka), maupun yang belum beriman (supaya mengantarkan mereka kepada kebenaran).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar