02 Februari, 2009

BERKUNJUNG KE DEPOK

Sabtu kemarin, 31 Januari 2009 saya ke Jakarta. Sekalipun saya sudah agak lama merencanakan untuk pergi, akan tetapi keberangkatan kemarin terasa agak mendadak. Saya seperti agak berat meninggalkan anak-anak dan istri di rumah. Maklum keuangan sedang berada dalam dry season, even though we are now in rainy season. Seandainya keuangan sedang oke, tentu lain lagi ceritanya. Agenda jalan-jalan menjadi agak sedikit wajib, sekalipun mengeluarkan banyak biaya. Akan tetapi syukurlah akhirnya bisa berangkat juga ke Jakarta. Saya tertarik mengikuti sebuah program yaitu Reading in Social Sciences (RISOS) di Yayasan Paramadina. Kebetulan tutor program ini adalah senior dan kawan akrab saya saat di Forum mahasiswa Ciputat (Formaci): Ihsan Ali-Fauzi. Sudah lama saya tidak bertemu dengannnya. Untuk itulah saya ingin ke Jakarta, di samping untuk belajar perkembangan ilmu-ilmu sosial mutakhir. Sebagai seorang yang sangat peduli dengan perkembangan pembaharuan agama, saya mesti mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial. Bagaimana kita bisa menerapkan sebuah ajaran agama kepada lingkungan kita jika kita tidak memahami persoalan-persoalan kemasyarakatan. Di samping itu, saya ingin mendapatkan suasana keilmuan sebagaimana dulu sewaktu saya masih mahasiswa. Dan yang lebih penting lagi, saya ingin hubungan silaturahmi saya dengan teman-teman lama tidak terputus. Apalagi teman-teman saya banyak yang akhirnya menekuni dunia akademik dan berkesempatan menuntut ilmu hingga ke manca negara, termasuk Ihsan ini. .

Saya berangkat seusai maghrib, di tengah rintik hujan. Setiap kali ke Jakarta saya harus menggunakan kereta api, karena hanya itulah satu-satunya kendaraan yang paling nyaman, sekalipun memakan waktu 7 jam dari Kebumen (sama dengan penerbangan dari Jakarta ke Tokyo). Jika menggunakan pesawat terbang paling hanya 15 menit ke Jakarta. Akan tetapi jika harus menggunakan peswat terbang, saya harus terlebih dahulu ke Yogya yang makan waktu 2 jam. Maklum di Kebumen tidak ada lapangan terbang, yang ada lapangan bulutangkis. Dan tentu saja biayanya lebih mahal. Harga ticket menjadi pertimbangan utama dalam memilih moda transportasi. Sudahlah, akhirnya saya memilih naik kereta saja. Bukankah kita harus punya sense of crises. Di samping itu nggak enak juga melihat istri cemberut karena suami memakai budget terlalu besar. “Lagian, Arie Untung saja setiap kali ke kantor hanya berbekal Rp. 20.000,-,” demikian kata istri saya, berhujjah. (Lho, Arie Untung itu siapa tho?)

Perjalanan tujuh jam saya guanakan untuk membaca bahan diskusi yang sebelumnya baru sedikit saya baca. Diskusi di Paramadina Sabtu siang itu adalah membahas artikel yang ditulis oleh Julie Chernov tentang proses moderasi yang dilakukan oleh partai-partai Islam. Kasus yang diteliti oleh Julie Chernov adalah PKS di Indonesia dan Partai Islam se-Malaysia (PAS) di Malaysia. Kedua partai Islam itu tidak pernah lagi menyuarakan isu-isu tentang hukum Syariah, Negara Islam, dan sebagainya. Yang mereka suarakan sekarang ini ternyata adalah persoalan-persoalan universal seperti kesenjangan soaial antara kaya dan miskin, persoalan pengangguran, kesehatan, pemerintahan yang bersih dan persoalan korupsi. Kita perlu mempelajari dan memahami perkembangan partai-partai Islam itu, dan –kalau bisa– ikut mengarahkan perkembangnan demokrasi di Indonesia. Seringkali kita hanya mengecam padahal kita tidak memahami fakta yang sesungguhnya.

Saya juga bisa beristirahat dengan baik di dalam kereta. Caranya adalah: pesan bantal lima buah, digelar di lantai kereta dan tidur. Tutupi wajah dengan saputangan. Nasehat itu saya dapat dari bapak. Ternyata efektif. Saya tidur cukup nyenyak dan baru terbangun saat kereta sudah mendekati Jatinegara. Saya turun di Senen pada pukul 03.30. Hujan turun pagi itu, membuat hawa semakin dingin saja. Saya gunakan waktu untuk shalat malam di mushala stasiun Senen. Mushala itu menghadap ke tempat wudhu yang bersebelahan dengan WC. Bau dari WC sering tercium hingga mushala, hingga saya shalat sambil seekali menahan nafas. Sungguh tidak khusyuk. Apalagi karpet alas shalat terlihat dekil dan lembab. Saya shalat di mushala stasiun dengan perasaan jengkel. Umat Islam mengurus mushala saja tidak bisa, kok mau berperang melawan Israel.

Saya menunggu hari terang sambil baca artikel yang akan didiskusikan siang nanti. Pukul 7 saya ke stasiun Gambir untuk naik KRL menuju Depok, rumah Ibba. Saya sudah lama tidak menengok rumah Ibba di Depok. Pukul 08.00 menjelang kereta tiba, saya melihat ada seorang tokoh ulama Kebumen bersama istrinya. Kudekati mereka, dan kami pun bercakap-cakap. Orang itu adalah KH. Banani Adam, pensiunan Departemen Agama Pusat. Ia pernah bersama saya mengisi pengajian di PCM Kutowinangun. Ia bercerita bahwa Bu Mas’udi adalah muridnya saat kuliah di IKIP Muhammadiyah Kebumen. Kini IKIP itu telah tutup. Saking asyiknya saya bercakap-cakap sampai-sampai saya tertinggal kereta. Pintu kereta sudah menutup secara otomatis sehingga saya tidak bisa masuk, dan harus menunggu kereta berikutnya yang datang pukul 09.30. Kereta KRL ekspres sungguh nyaman karena bersih dan rapi serta sejuk. Kecepatannya pun tinggi. Saya jadi teringat saat menaiki kereta subway di Tokyo. Kata Ibba, kereta ini memang bekas kereta yang dari Jepang. Sungguh amat nyaman, dan saya bisa beristirahat bahkan tertidur hingga tidak terasa saya sudah sampai di Lenteng Agung.

Di stasiun Depok saya dijemput Ibba, Hanna, dan Naura. Kedua keponakanku mengenakan baju pink bergambar sayap. Lucu sekali mereka. Kami naik motor berempat dari stasiun ke rumah Ibba di Tanah Baru. Agak jauh juga dari Stasiun ke perumahan tempat Ibba tinggal. Jalanan agak macet, dan berdebu. Hanna duduk di depan, sementara Naura di antara Ibba dan saya. Hanna pakai helm. Agak susah juga jika harus cari rumah Ibba sendiri.

Depok sekarang tidak seperti Depok yangpernah saya kenal dahulu. Saya sering ke Depok, ke kampus UI di daerah Beji. Dulu Ida pernah tinggal di rumah kepala desa Beji yang kebetulan juga orang Muhammadiyah saat baru kuliah di UI. Saat itu kendaraan masih sangat jarang, sehingga saya seringkali jalan kaki dari pintu kampus ke tempat tinggal Ida. Saya juga dulu beberapa kali main ke rumah Pakde Masdun, saat beliau masih sehat. Saya sangat senang melihat koleksi buku pakde. Maklum beliau wartawan senior. Buku-buku biografi tokoh dunia, termasuk tentang Ferdinand Marcos, jurnal Ariel terbitan Israel, serta beberapa karya jurnalistik. Luarbiasa pakde ini. Di saat kita lebih senang mengecam dan mengharamkan segala hal berbau Israel, pakde justru mengoleksi majalah-majalah dari Israel. Pakde bahkan aktif di Lions Club, yang konon katanya adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh tokoh-tokoh Yahudi. Pakde memang berwawasan luas, dan konon beliau fasih berbahasa Arab. Beliau dulu belajar agama di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogayakarta. Akan tetapi saya tidak pernah omong-omong dengan beliau. Pakde selalu terlihat sibuk, sehingga saya selalu segan mengobrol dengannya, apalagi obrolan saya tidak selalu bermutu. Itu dulu, saat Depok masih terbilang sepi.

Rumah Ibba masih di kompleks ar-Rayyan, seperti dahulu. Hanya saja tidak bertempat di rumah yang sangat mungil, melainkan di rumah yang sudah cukup lapang. Di rumah itu banyak bacaan anak-anak. Ada pula buku karya Ed Husain, Matinya Semangat Jihad. Konon itu buku bagus. Saya sendiri belum sempat membacanya. Ibba sedang membaca, dan katanya memang bagus. Hanna dan Naura memutar DVD Kung Fu Panda, sebuah film animasi yang sangat menyentuh. Kedua anak itu libur di hari Sabtu, dan Ibba mengasuh mereka sendirian karena ibu mereka, Dian harus masuk kerja. She is a hard working woman. Rumah-rumah di kompleks ar-Rayyan kecil-kecil. Anak-anak gadis kecil bermain sepeda, semuanya mengenakan jilbab. Hanna dan naura saja yang tidak berjilbab. “Ini kompleks PKS,” demikian kata Ibba. Benar, tidak ada atribut partai di sana kecuali PKS.

Saat masih kuliah, saya sepertinya sering bermain di daerah ini. Nama daerah tempat Ibba tinggal kalau tidak salah adalah Tanah Baru. Dulu banyak empang di sana. Salah satu pemilik empang itu adalah Haji Ali Fauzi, bapaknya Ihsan. Ia tadinya adalah peternak sapi perah di daerah Kuningan, dekat Rasuna Said. Konon hotel JW. Marriot berdiri di atas tanah milik Haji Ali Fauzi. Kampungnya tergusur untuk pelbagai macam proyek, dan ia pindah ke Tanah Baru. Haji Ali langsung kaya dan banyak uang hasil gusuran. Ihsan memanfaatkan uang bapaknya untuk beli komputer dan buku-buku, serta modal kuliah di Amerika. Baguslah. Ihsan memang orang Betawi dengan n ach tinggi. Jangan-jangan ia orang Betawi yang paling pintar. Maklum setiap hari ia minum susu sapi murni. Saya beberapa kali menginap di rumah bapaknya Ihsan di Tanah Baru ini. Asyik sekali malam-malam baca buku sambil mendengarkan suara air bergemericik serta kecupak ikan-ikan di empang. Buku-buku saya juga masih banyak yang tertinggal di sana. Semoga tetap dibaca oleh Ihsan atau adiknya, Nasrullah. Akan tetapi dulu suasananya masih sangat desa. Kendaraan sangat jarang terlihat. Akan tetapi kini, sungguh berbeda. Bangunan-bangunan baru muncul di sana-sini. Kendaraan hilir mudik silih berganti. Asap kendaraan di mana-mana. Pepohonan besar sudah tidak lagi kutemui. Udara sudah tidak segar lagi. Saya menengok ke kiri dan kanan, berusaha mengingat-ingat suatu tempat. Saya sudah tidak bisa lagi mengenali daerah ini. Mungkin empang milik haji Ali sudah tergusur pula.

Sayang saya tidak lama di rumah Ibba. Pukul 12.00 saya harus segera tiba di Paramadina. Saya hanya sebentar bercanda dengan Hanna dan Naura. Mereka memperlihatkan hasil karya mereka, kerajinan keramik. Tempat tinggal mereka memang tidak jauh dari sanggar FX. Widiyanto, hingga mereka bisa ikut kursus kerajinan keramik di sana. Karya mereka sangat menarik dan diberi warna glasir yang eksotis. Ada gajah, bunga, beruang dan dua kura-kura kecil. Hanna dan Naura memberikan kura-kura kecil itu sebagai oleh-oleh untuk Nadia dan Jasmine. Wah lucu-lucu sekali kura-kura itu. Untung saya sempat bercerita tentang Gulliver the Traveller karya Jonathan Swift kepada mereka. Gulliver pernah terdampar di sebuah pulau berisikan manusia-manusia dan hewan-hewan kecil. Kecilnya kira-kira sama dengan yang dibikin oleh Hanna dan Naura dengan keramik. Usai makan siang, saya diantar Ibba mencari taksi di Ciganjur.

Sekalipun banyak perumahan padat dan jalanan juga padat, namun di Depok masih banyak pepohonan teduh, hingga airnya pun masih sangat baik. Mudah-mudahan pepohonan itu tidak ditebangi. Semoga hingga duapuluh tahun lagi Depok tetap sejuk dan asri, sekalipun tidak ada lagi empang milik Haji Ali.


Dari Abduh Hisyam untuk hi-nan.com

1 komentar:

  1. hahaha...arie untung itu orang yang beruntung sayang....hemmm kamu lucu banget sih suerrr....
    i love you deh..:))))

    BalasHapus