02 Februari, 2009

MORNING BLUE



Jika sedang mengendarai kendaraan, saya seringkali melihat bangkai ular melintang di tengah jalan. Bangkai itu tergeletak di situ hingga gepeng dan mengering karena tergilas ban kendaraan yang hilir mudik dan terpanggang panas matahari dan tersengat panas aspal jalanan. Bukan hanya ular, tikus pun seringkali tergeletak di tengah jalan. Saya menduga, ada orang-orang yang sengaja meletakkan bangkai binatang itu di sana agar terlindas kendaraan. Yang saya sering saya lihat adalah bangkai ular. Bahkan saya pernah melihat ular yang masih menggeliat-geliat karena sebagian tubuhnya remuk sementara bagian tubuh lainnya masih utuh. Tentu hewan itu merasa kesakitan sebelum akhirnya mati. Di sekitar kita banyak orang yang jika mendapati ular akan langsung membunuhnya, dan setelah itu mayatnya dibuang di tengah jalan. Mengapa ular harus dibunuh? Bukankah ular memakan tikus yang selalu merajalela dan menjadi hama tanaman padi? Mengapa ular sangat ditakuti oleh manusia hingga harus dibunuh, dan bangkainya dilempar ke tengah jalan agar semakin puas para pembunuhnya melihat hewan itu mati. Sungguh perilaku sadistik yang luarbiasa.

Banyak orang beranggapan jalan raya merupakan tempat sampah yang amat terbuka. Mereka membuang apa saja ke jalan raya. Termasuk bangkai binatang. Tikus yang sudah mati seringkali kita lihat sengaja dilempar orang ke tengah jalan agar telindas kendaraan. Akibatnya jalan raya menjadi kotor dan tidak sehat. Isi perut tikus menghambur keluar. Pemandangan yang sangat sadis. Sekalipun tikus adalah hama dan binatang yang jorok, akan tetapi memperlakukan hewan itu dengan sembrono dan brutal bukanlah perilaku manusiawi. Kita terbiasa dengan perilaku sadistik sekalipun terhadap bnatang kecil.

Dulu, ketika saya kecil, kawan-kawan sepermainan seringkali menangkap capung dan memberi hewan itu “baju” berupa kertas yang diberi lubang dua buah dan sayap-sayap capung itu dimasukkan ke dalam lubang itu. Capung itu seperti mengenakan rompi. Anak-anak seringkali gembira dan bersorak-sorak melihat capung terbang “berbaju.” Saya juga termasuk di antara anak-anak itu. Sepulang sekolah, kami bermain di halaman rumah. Di pekarangan rumah seringkali kami jumpai banyak serangga berwarna-warni. Di sela-sela tanaman yang tumbuh rapat di sepanjang jalan kampung, kami menangkap belalang atau kupu-kupu dan capung yang hinggap di kuntum-kuntum bunga. Kupu-kupu dan capung beraneka warna terbang menghiasi udara pekarangan rumah. Kami bermain dan bercanda sepanjang hari, hingga orangtua kami memanggil untuk makan siang. Beberapa orang dewasa menegur kami jika ada di antara kami yang menyiksa hewan-hewan itu, namun kami menganggap teguran itu sebagai angin lalu saja, dan bahkan menganggap orang yang menegur kami sebagai orangtua cerewet.

Ada sejenis hewan yang merayap di pepohonan, dan terbang dari satu pohon ke pohon lain. Hewan itu kecil, sedikit lebih besar dari cecak, akan tetapi jika sayapnya direntangkan, maka rentangan kedua sayapnya bisa mencapai 15 hingga 20 centimeter. Trelep, demikian kami biasa menyebutnya. Saya tidak tahu bahasa latinnya. Di sekolah dulu saya tidak pernah diajari untuk mengenal hewan-hewan dan tanaman sekitar. Akibatnya saya jadi asing dengan lingkungan sendiri. (sekolah ternyata tidak bikin kita tambah pandai kan?) Di leher trelep terdapat bendera segitiga berwarna kuning, ekornya panjang. Hewan ini berwarna kelabu kecoklatan dengan garis dan bintik-bintik hitam putih. Sangat eksotis. Setiap kali hinggap di batang pohon, hewan ini selalu menggerak-gerakkan kaki depannnya seolah-olah mengukur kekuatan pohon. Anak-anak tetangga beberapa kali kulihat menangkap trelep dan meniup lubang anusnya dengan jerami kering hingga menggelembung. Seketika tubuh trelep menggelembung seperti bola. Sungguh sebuah penyiksaan.

Lihatlah betapa kami sudah belajar berbuat kesadisan sejak kecil. Tidak mengherankan jika pada peristiwa kerusuhan sosial di Sampit antara suku Dayak dan Madura beberapa tahun yang lalu, terjadi pembantaian yang amat sadis. Orang yang sudah mati terbunuh kepalanya dipenggal dan ditancapkan berderet-deret di pagar jalanan. Kita disuguhi cerita tentang Ryan sang penjagal sadis. Di masa Orde Baru kita membaca berita pembunuhan sadis terhadap aktifis buruh perempuan tamatan SMA Muhammadiyah Nganjuk, Marsinah. Kesadisan terjadi di mana-mana, karena memang diajarkan sejak kecil kepada anak-anak. Mereka belajar pula di jalanan, saat melihat hewan-hewan dilemparkan di tengah jalan untuk dilindas kendaraan.

Saya jadi teringat cerpen karya Budi Darma tentang tetangganya, seorang tua yang terbiasa melempari burung-burung dan hewan-hewan kecil di taman kota Bloomington. Saat terjadi pembunuhan sadis di kota itu, polisi menangkap tetangga Budi Darma. Ternyata orangtua itulah pembunuhnya. Menurut psikolog, setiap hari ia melempari burung-burung dan hewan-hewan kecil di sekitar taman kota karena dalam dirinya ada obsesi untuk membunuh. Berarti saat saya kecil saya punya obsesi untuk menyiksa, karena saya dan teman-teman sering memakaikan baju kepada capung. Oo berarti pada dasarnya saya seorang yang sadis.

Setiap kali kita melewati jalanan yang melintas di antara pesawahan, kita seringkali melihat ular bergerak pelahan menyeberang jalan. Ada pula kadal, kucing liar, dan juga musang. Kita tetap saja melaju dengan kecepatan tinggi tanpa berusaha menghindari hewan-hewan itu agar tidak tergilas ban kendaraan kita. Bahkan tidak sedikit pula yang dengan amat bergairah sengaja menabrak hewan-hewan itu.

Saya pernah melihat sebuah foto bagaimana kendaraan di kota London sengaja menghentikan perjalanan saat serombongan bebek liar menyeberangi jalan raya. Mereka sangat menghargai kehidupan, dan amat menghargai keberadaan makhuk lain, sekalipun hanya seekor bebek. Suatu saat saya berkendaraan dengan seorang kawan, melintas daerah pedesaan di tepi laut. Saat melaju tiba-tiba ada seekor anak kambing menyeberang, dan tertabrak mobil. Sang teman tidak merasa perlu menghentikan kendaraan, dan menunjukkan ekspresi seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Saya bilang, bahwa ada seekor kambing tertabrak. Ia tetap saja menyetir dengan kecepatan tinggi. Ia juga tidak menggubris saat saya bilang berhenti dulu. Mungkin ia takut menghadapi pemilik kambing itu, sekalipun daerah itu sedang sepi dan sedang turun hujan. Saya meminta berhenti karena daripada anak kambing itu kesakitan lebih baik disembelih saja dan dibawa pulang untuk disate. Akan tetapi teman saya membiarkan anak kambing itu tergeletak sampai mati di tengah jalan. Padahal sang teman ini adalah anggota DPRD.

Di Amerika pernah terjadi sebuah peristiwa, seekor kijang liar tertabrak mobil di jalan tol (freeway). Sang pengemudi berhenti dan meminggirkan mobilnya. Sang kijang meregang nyawa. Sebuah mobil patroli berhenti. Demi melihat kijang yang sedang sekarat, dan agar hewan itu tidak terlalu lama menderita, orang-orang yang ada di tepat kejadian memutuskan untuk mengakhiri hidup si kijang. Pak polisi dengan pistolnya pun menembak kepala hewan itu. Orang –orang di sekitar menghela nafas. Mereka sudah hendak pergi meneruskan perjalanan. Toh kijang itu sudah mati. Petugas kebersihan toh sudah datang untuk membersihkan darah yang membasahi jalan raya. Saat mereka hendak beranjak tiba-tiba mereka terkejut karena perut hewan yang sudah mati itu bergerak-gerak. Oo, rupanya kijang itu sedang hamil, dan yang bergerak di perutnya adalah sang janin. Seseorang segera bertindak cepat. Diambilnya sebuah pisau lipat dari laci dashboard mobilnya, dan dengan pelahan dibedahnya perut kijang yang sudah mati itu. Orang-orang menahan nafas. Benar, seekor jabang bayi kijang ada di dalam perut itu. Dengan dibantu beberapa orang, mereka mengeluarkan bayi kijang itu, memberi nafas buatan, dan ajaib, hewan itu langsung berdiri dan mencari puting susu induknya. Orang-orang bertepuk tangan, semua merasa bahagia. Sang anak kijang itu kemudian diserahkan kepada yayasan pemelihara satwa liar. Sebulan kemudian orang-orang yang terlibat dalam peristiwa jalan tol itu mengunjungi yayasan itu dan melihat betapa anak kijang itu sekarang sudah sehat dan berlari melompat-lompat ke sana kemari. Ada totol putih di bagian keningnya, sama dengan yang dipunyai induknya yang tertabrak di jalan tol. Bayi kijang itu kemudian diberi nama freeway. Orang-orang yang ikut menolong kelahiran freeway kemudian saling berkenalan dan berkumpul setiap bulan bersama freeway. Mereka ada yang kemudian akhirnya saling jatuh cinta dan menikah, ada pula yang menjadi teman. Semua karena mereka memberi kehidupan bagi seekor binatang liar. Mereka amat peduli kepada kehidupan, karena hidup adalah sebuah mukjizat.

Jalan raya kita memang tidak ramah untuk para penyeberang jalan, apalagi jika penyeberang jalan itu non-manusia. Di Sruweng, sepulang usai shalat subuh di masjid saya pernah mendapati seekor burung hantu besar tergeletak di tengah jalan. Mati. Mungkin ia tertabrak kendaraan. Saya tidak pernah melihat burung hantu di alam liar. Ia hanya seekor burung liar. Akan tetapi, pagi itu saya merasa sangat kehilangan.

Disarikan dari Tulisan M. Abduh Hisyam


1 komentar: