06 Februari, 2009

Pengajian lagi...Pengajian lagi....


Dua minggu sekali di mushala Jabres milik Bu Mas’udi, saya menyelenggarakan pengajian malam Jumat. Mengapa malam Jumat? Masyarakat selalu menganggap malam Jumat adalah malam yagn harus diisi dengan kegiatan keagamaan. Tentu saja pandangan ini tidak benar, akan tetapi karena masyarakat secara kultural sudah berpandangan demikian, ya kita manfaatkan saja. Pula karena kebiasaan masyarakat sekitar setiap malam Jumat mengadakan ‘yasinan,’ maka kelompok pengajian itu pun diberi nama pengajian Yasin. Tidak berarti yang dilkukan adalah membaca surah Yasin bersama-sama, akan tetapi Yasin itu sekedar nama saja. Toh dalam surat Yasin terkandung ajakan untuk mempelajari Qur’an sebagai upaya untuk memberi peringatan. Lebih relevan lagi jika forum Yasin itu dipakai untuk menjelaskan tafsir surah Yasin. Kebanyakan orang yang rajin menghadiri Yasinan tidak memahami kandungan surah Yasin. Mereka mungkin saja hafal surah tesebut, akan tetapi mereka tidak mudheng maknanya. Jadi bisa diibaratkan degan burung beo yang bisa menirukan namun tidak mengerti apa yang diucapkan. Untuk itulah forum Yasin ini dibentuk. Pada awalnya pengajian ini terbatas untuk keluarga saja, yaitu cuku-cucu H. Muflich almarhum, akan tetapi karena anggota keluarga banyak yang malas datang, akhirnya siapa pun boleh hadir. Acaranya singkat, dari pukul 20.00 hingga pukul 21.00. Tiga puluhmenit pertama untuk ceramah, dan tigapuluh menit berikutnya untuk tanya jawab.

Biasanya acara akan hidup jika masuk pada sesi Tanya Jawab. Bagian ini akan diselingi dengan banyolan dari peserta pengajian, dan yang terjadi adalah saling sindir dan gelak tawa. Dalam sesi ini siapa pun boleh bicara. Rata-rata peserta pengajian seusia denga saya. Sekalipun para penceramahnya adalah mubaligh Muhammadiyah, akan tetapi pengajian itu tidak identik dengan Muhammadiyah. Pesertanya pun orang awam, dan tidak peduli apakah pengajiannya Muhammadiyah ataukah NU. Yang penting mereka ingin mengaji agama. Peserta tertua adalah H. Hartono, ketua PCM Sruweng. Syukurlah beliau mau selalu iikut hadir sekalipun tidak pernah mau menjadi penceramah. Sekalipun keberadaannya hanya sebagai pendengar, akan tetapi sebagai sosok yang dituakan, kehadiran beliau selalu amat ditunggu-tunggu. Selorohnya juga selalu kocak.

Pengajian Yasin sudah dimulai sejak 5 September 2002. Sekalipun saya bukan ketuanya, de facto saya nyawa dari pengajian itu. Setiap dua pekan saya harus menghubungi mubaligh untu mengisi pengajian, dan mengecek undangan. Akan teapi seperti biasa, undangan yang tersebar adalah 40 lembar, sedangkan yang hadir hanya 20 orang. Jika hari hujan, maka bias dipastikan paling banyak 15 orang saja yang hadir. Seringkali kami kebingungan karena jumlah makanan dan teh manis yang sudah disiapkan dua kali lebih banyak daripada yang hadir. Siapa yang akan menghabiskan makan itu? Saya sering tidak enak dengan bu Mas’udi yang telah bersusah payah menyeponsori pengajian tersebut. Saya selalu sampaikan kepada pengurus agar tidak bersedih, dan tetap menyelenggarakan kegiatan secara rutin. Wajar hadirin dalam pengajian selalu sedikit. Jika ingin yang hadir banyak, undanglah ke acara karaoke. Pengajian itu telah berjalan konsisiten selama 6 tahun, dan uang hasil iuran anggota bisa digunakan untuk membantu anak yatim di Pejagoan, serta diputar dalam bentuk usaha vocher kartu telepon seluler.

Di PDM, sejak saya menjadi sekretarisnya telah diadakan pengajian rutin bulanan. Pengajian ini diadakan tiap Ahad ke-3, dari pukul 06.00 hingga pukul 07.00 pagi. PCM Pejagoan juga mengadakan pengajian tiap Ahad pertama di setiap bulan. Setiap Ahad hampir selalu terisi dengan pengajian pagi. Saya selalu harus siap menghubungi para mubaligh untuk acara pengajian terssebut. Jika para mubaligh tidak siap maka saya harus siap mengganti. Nah lho. Sebetulnya cukup menyenangkan juga bisa berbicara di hadapan orang banyak. Kita bisa mempengaruhi mereka dengan ide-ide kita. Sayangnya para pendengar kita belum siap untuk menerima perbedaan pendapat. Apalagi untuk urusan keagamaan, mereka lebih banyak mendengar dari pengajian-pengajian, dan amat sedikit yang memiliki gairah untuk menelaah ajaran agama lewat buku-buku.

Berbicara menghadapi khalayak banyak, harus memiliki kiat tinggi. Karena pendengar jumlahnya besar, tentu di antara mereka ada yang berpendidikan dan ada yang tidak. Ada yang kritis dan ada pula yang selalu bertaklid. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para mubaligh. Kita seringkali berbicara secara aman, dengan menyampaikan apa-apa yang telah diyakini dan dianggap benar oleh umat. Kita dituntut untuk meningkatkan pemahaman keagamaan lewat perkembangan ilmu pengetahuan dan juga meningkatkan ketrampilan dalam seni brbicara. Sedemikian beratnya tan angan para mubaligh maka wajar tidak banyak yang mau jadi mubaligh.
by ; Abduh Hisyam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar