09 Maret, 2014

Amien Rais yang sederhana



Oleh : Abduh Hisyam
Kemarin 8 Maret 2014, saya memenuhi undangan Amin Rais makan siang di rumahnya yang asri di Pandeansari Condongcatur  Yogyakarta.  Saat saya tiba belum banyak yang hadir, kecuali beberapa kawan lama seperti Alvin lie.  Beberapa saat kemudian saya diminta menuju ruang makan.  Saat saya keluar  untuk mengajak  supir ikut makan siang, kulihat pak Amin mengayuh sepeda menuju lokasi pertemuan.  “Asalamualaikum,” sapanya  seperti biasa. Ia tampil sederhana dengan kemeja batik lengan pendek warna biru.  
Bicara tentang sosok Amin Rais tidak bisa dilepaskan dari politik kontemporer  Indonesia.  Ia salah satu tokoh peletak dasar reformasi politik di negeri ini.  Jadi kalau dalam tulisan ini saya lebih banyak  menulis tentang politik seputar PAN, itu karena sulit memisahkan sosok Amin Rais dari  politik dan dari partainya.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh para inisiator PAN se-Jawa Tengah itu, Amin Rais mengatakan bahwa Pemilu 2014 ini adalah praktek politik yang sangat immoral.  Orang tidak lagi mengandalkan ide atau program, melainkan berapa besar uang yang  dikeluarkan calon anggota DPR untuk calon pemilih.   Orang sekarang selalu bertanya, “wani piro?” 
 
Ia berharap walaupun kinerja PAN pada periode 2008-2013 tidak begitu baik, namun karena ini satu-satunya partai yang mengusung agenda pembaharuan Muhammadiyah, maka kita hendaknya selalu mengikuti dan melakukan kritik.   Kebanyakan inisiator  PAN sudah tidak lagi duduk dalam struktur partai, akan tetapi sebagian besar sangat loyal dan memiliki komitmen tinggi demi kemajuan Partai.  Orang seperti Alvin Lie sekalipun kini tidak lagi menjadi anggota DPR dan tidak duduk dalam struktur kepengurusan DPP, akan tetapi ia tetap di PAN  dan selalu hadir di kantor DPP.  Faisal Basri yang keluar dari PAN  tidak pernah berkeinginan  masuk partai lain, sekalipun banyak yang manawarinya.  Ia tetap menjawab bahwa tidak ada partai sebaik PAN.  Memang ada beberapa orang yang loncat menjadi anggota partai lain, namun jumlahnya tidak banyak dan sebaiknya dibiarkan saja.
PAN di bawah kepemimpinan Hatta Rajasa  seolah-olah di balik ketiak  Partai Demokrat.  PAN seperti adiknya Partai Demokrrat.   Hatta Rajasa, selain menjadi Menko di kabinet SBY juga adalah besannya.   Tiap kali ada pernyataan keras dari PAN terhadap kinerja pemerintah, pasti ada orang Cikeas yang menelpon Hatta Rajasa, dan Hatta Rajassa kemdian menelpon pimpinan fraksi agar tidak bersuara keras.   Akibatnya keputusan yang telah diambil PAN menjadi buyar.   Sekalipun sudah sangat loyal kepada SBY akan tetapi PAN tetap hanya punya tiga orang menteri.  Bandingkan dengan PKS yang sangat keras kepada SBY akan tetapi justru punya lima menteri.   Inilah kenyataan kekuatan dan kemampuan kader-kader PAN di  parlemen.
Sikap apa yang harus diambil oleh PAN?  “Secara teori, menjadi partai oposisi adalah sama pentingnya dengan partai penguasa.  Memang saya pernah mengatakan begitu,”  demikian Amin Rais.   Akan tetapi dalam kenyataanya, jika partai kita kecil dan tidak memiliki pendanaan  besar, justru akan tidak dilihat dan merugikan dalam kontestasi Pemiihan Umum.   PDI-P berani bersikap oposisi karena  ia partai besar, pernah berkuasa dan memiliki sumber dana cukup besar.  Partai ini banyak disokong para cukong, sementara partai kita dananya pas-pasan.   Untuk itu menjadi bagian dari kekuasaan menjadi penting. Kita harus realistis.  Saya teringat kepada pidato salah seorang jenderal di masa awal Orde Baru yang mengatakan bahwa kita boleh bersikap idealis namun harus sesuai dengan kenyataan.   “Bersiakap idealis saja namun melawan kenyataan yang ada,  seperti melawan militer yang sedang berkuasa, jelas konyol.  Bisa ditembak.   Kalau sudah mati kan habis.”
Dalam sesi tanya jawab, ada seorang kawan lama dari Wonosobo, Suhardi  mengatakan bahwa semua kesalahan berawal dari Amin Rais, katanya.  Mengapa dulu pak Amin tidak langsung mengambil jabatan presiden.   Akibatnya kini kita yang repot.  Pak Amin menjawab bahwa memang penonton sepakbola seringkali lebih pandai daripada sang pemain.  Saya kan pemain saat itu.   Saya tahu  banyak pihak yang tidak senang  terhadap saya dan para tokoh reformis yang tiba-tiba saja muncul ke puncak elit Negara.   Tentara dan kelompok minoritas non-muslim banyak yang tidak percaya kepada saya, sekalipun mereka dalam pertemuan-pertemuan menyatakan siap mendukung.   Apalagi pihak asing seperti Amerika. Sungguh mereka sangat tidak mempercayai saya, demikian pak Amin.

Siang itu acara berlangsung hingga ukul 15.00 dengan suasana sederhana dan penuh tawa.   Usai Pemilu akan diadakan kembali pertemuan serupa.  Acara ditutup dengan doa oleh  KH Hisyam Adnan dari Tegal, bapakku.  Pak Amin rupanya terkesan dengan bapak yang dalam kedaan sakit menyempatkan diri datang ke Yogya.  Ia pun meminta bapak duduk  di sampingnya selama pertemuan berlangsung.   Aku sudah dua kali ini bertemu pak Amin bersepeda.  Saat saya berolah raga pagi di daerah Sawitsari, saya juga bertemu pak Amin bersepeda sendirian, tanpa pengawalan.   Padahal saat itu ia baru saja dielu-elukan sebagai calon presdien 2004.  Beliau masih tetap sederhana hingga sekarang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar