PROPAGANDA LGBT YANG
KIAN MASSIF
Membahasa
LGBT seperti tak habis habisnya, sejak disahkan nya UU pernikahan sejenis di beberapa
negara, dan pada tahun 2103 Amerika akhirnya menyusul. Banyak pertentangan
disana sisni, tapi faktanya Obama menndadatanganinya.
Di tanah
air, Isu LGBT kembali marak. Apa Pasal? SGRC UI salah satu Komunitas LGBT mendapat
pertentangan oleh UI bahwa komunitas nya bagian dari UI.
Nah,
kasus ini sudah hampir sebulan bergulir, sampai kini tak berhenti juga. Debat
demi debat, bak lewat facebook, twitter, bahkan televisipun bikin acara debat
LGBT. Dari Kompas tv, sampai Tv one dan Tv Tv lain semua mengupas LGBT.
Akibat
Penolakan dari UI akhirnya isu LGBT kembali bergulir. Lebih banyak yang Kontra
dari pada yang pro. Hanya yang Pro memiliki kekuatan media yang cukup besar.
Bahkan Facebook sebagai pendukung pernikahan sejenis, mmeblock akun akun
aktivisi yang Kontra LGBT. Di Indonesia, Kelompok yang Pro LGBT adalah JIL,
Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPI, Salihara dll.
Hampir
semua agama menolak LGBT, karena Hali itu adalah perbuatan yang sangat keji,
melanggar fitrah. Bahkan di Al Qur’an di namakan “FAHISYAH” (KEJI). Perbuatan
terkeji diantara perbuatan dosa yang sudah ada.
Tapi
atas nama HAM, mereka ingin orang orang menerima kecenderungan sexual mereka
kepada kaum sejenis adahal hal yang normal.
Berikut tulisan Rita Subagyo , bahwa
Komunitas LGBT sedang massif berlindung dibalik HAM, Psikologi dll, demi
memuluskan tujuan hasrat rendah mereka.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/16/m5ptyy-waspadai-kampanye-lesbi-berkemasan-psikologi
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rita Soebagio*
Wahai
umat Islam, hati-hati dan waspadalah! Mung kin, inilah penyakit baru yang akan
direkomendasikan para psikolog sekuler sebagai mental disorder (gangguan jiwa)
namanya homofobia!
Contoh
kasusnya menimpa Darrun Ravi. Ia mantan mahasiswa Rutgers University Amerika
yang dituntut 10 tahun dengan 15 tuntutan yang bermuara pada kesimpulan
menderita homofobia. Dharun Ravi dianggap bertanggung jawab terhadap tewasnya
Tyler Clementi, teman sekamarnya, yang bunuh diri pada 2010 (New York Time, 12
Maret 2012).
Ravi
dengan latar belakang budaya India yang kuat, mengaku tidak nyaman melihat
perilaku seksual Clementi yang kerap membawa teman gaynya di kamarnya.
“Ketidaknyamanan” itulah yang dianggap juri di pengadilan, sebagai
“bermasalah”.
Istilah
homofobia adalah salah satu buah dari Gerakan Revolusi Seksual Modern yang
mengarah pada legalisasi perilaku seks sejenis. Homofobia memandang aneh
perilaku seksual, seperti lesbian, gay, transeksual, biseksual, seks pranikah,
pornografi, dan fantasi seksual lainnya. (David Allyn, Make Love, Not War: The
Sexual Revolution: An Unfet te red History. Little, Brown and Com pany, 2000),
(Malik Badri, The Aids Crisis: A Natural Product of Modernity’s Sexual
revolution. Kuala Lum pur: Medeena Books).
Istilah
homofobia sendiri dicetuskan pada 1960-an oleh seorang psikolog George Winberg,
untuk menggambarkan ketakutan yang terus menerus dan tidak rasional terhadap
lesbian dan gay. Pada 1972, Winberg menuliskan dalam bukunya Society and the
Healthy Homosexual. Pada saat hampir bersamaan, dari sisi prasangka sosial
muncul istilah heteroseksisme, istilah yang mengandung analogi seperti seksisme
dan rasisme.
GM Herek
mengambarkan bahwa heteroseksisme merupakan sis em ideologi penolakan,
pencemaran, dan stigmatisasi terhadap berbagai perilaku, identitas, hubungan,
dan komunitas nonheteroseksual. Katanya, ini merupakan bentuk diskriminasi
instutisional terhadap gay dan lesbian. (GM Herek, The Context of Anti-gay
Violence: Notes on Cultural and Psychological Heterose xism. 1990. Journal of
Interpersonal Violence, 5, 316-333).
Pascakasus
di atas, Clementi dianggap Martir bagi dunia LGBT (Les bian, Gay, Biseksual,
dan Trans gender) sementara tindakan Ravi dinilai oleh kelompok Gay Equality
Forum sebagai “shocking, malicious, and heinous” (mengejutkan, berbaha ya dan
keji). Penilaian kaum homo seksual terhadap kelompok hetero sek sual sudah
dilakukan melalui pro pa ganda homoseksual selama 50 tahun ini.
Puncaknya
terjadi pada 1989 dengan terbitnya buku yang sangat populer dalam komunitas
homoseksual sehingga dianggap sebagai “kitab suci” atau manual book mereka,
After the Ball: How America Will Conquer Its Fear and Hatred of Gays, karya
pasangan psikolog gay, Marshall Kirk and Hunter Madsen. (Albert Mohler, After
the Ball—Why the Homo sexual Movement Has Won. 2004. Crosswalk.com . June 3,
2004. Posted on Fri Jun 04 2004).
Pasangan
psikolog gay, Marshal dan Hunter, memberikan pedoman bagaimana para aktivis
homoseksual melakukan berbagai propaganda untuk mengubah opini publik agar
homoseksual dipandang normal, tidak lagi dianggap sebagai mental illness,
tetapi dipandang “sehat”. Dengan itu, masyarakat akan menerima perilaku mereka
sampai mendapatkan hak khusus, tunjangan, dan hak istimewa.
Propaganda
mereka dilakukan dengan cara menempatkan kaum LGBT sebagai pihak teraniaya dan
kor ban dari sebuah tatanan masyarakat yang heteroseksis. Terhadap orang yang
tidak setuju dengan LGBT, mereka berikan stigma sebagai orang bigot, hatters,
and ignorants (fanatik, pembenci, dan bodoh). Dalam buku ini para aktivis
homoseksual dan lesbianisme dibenarkan menggunakan setiap taktik, termasuk
penipuan massal, berbohong, fitnah, kedengkian, intimidasi, kekerasan, dan
lain-lain. Meskipun banyak akti vis pada awalnya mengutuk pende katan ini,
namun setelah dirasakan manfaat dari keberhasilan kampanye propaganda mereka
maka berbagai aktivis menjadi pembela utama di depan publik.
Puncak keberhasilan kampanye LGBT adalah ketika mereka berhasil mengeluarkan
homoseksual dari DSM (Diagnostic and Statistic Manual of mental Disorder).
DSM-I yang disusun pada 1952 oleh APA (American Psychiatric Association) dan
edisi keduanya yang keluar pada 1968, masih memasukkan homoseksual sebagai
penyimpangan dalam perilaku seksual. Homoseksual pertama kali dike luar kan
pada 15 Agustus 1973, yang kemudian diganti dengan isti lah Egodys tonic
homosexuality pa da DSM-III.
Istilah
ini ternyata menuai kritik dari berbagai kalangan. Sehingga, pada akhirnya
istilah Ego-dystonic homosexuality kemudian dikeluar kan pada 1986 dan
diperkuat dengan revisi DSM-IIIR pada 1987. Du kung an terhadap DSM semakin
menguat ketika pada 17 Mei 1990, WHO mencabut kata “homoseksualitas” dari
International Classification of Diseases (ICD). Pada 1994, APA mengeluarkan
lagi DSM-IV, yang akhirnya direvisi kembali manjadi DSMIVTR (text revision)
pada 2000, yang seluruhnya sudah tidak ditemukan sama sekali homoseksualitas
sebagai kelainan seksual.
Sementara
itu, Indonesia sendiri dalam Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III sejak 1993 telah memasukkan homoseks dan biseks sebagai varian
seksual yang setara dengan heteroseks dan bukan gangguan psikologis. PPDGJ-III
merujuk pada standard dan sistem pengodean dari International Classification of
Disease (ICD- 10) dan sistem multiaksis dari Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders (DSM-IV).
Jika
pada DSM-I dan DSM-II homoseksual masih dianggap sebagai mental disorder yang
didukung oleh 90 persen anggota APA maka pada DSM-IV keadaan menjadi berbalik
ketika hanya tersisa 10 persen ang gota APA yang mendukung homoseksual sebagai
sebuah penyimpangan. Dengan normalisasi homoseksual oleh berbagai kalangan maka
penerimaan kelompok homoseksual oleh masyarakat bergerak ke arah positif. Dunia
terbagi ke dalam dua opini, kelompok homoseksual dan antihomoseksual atau kerap
disebut dengan homofobia.
LGBT Sabagai
Sebuah Gerakan Penularan
Ini yang mngerikan, berikut
Tulisan Psikolog UI Adriano Rusfi yang kii Akun FB nya di Hack oleh Facebook,
karena lantang menyuarakan Pertentangan
terhadap LGBT.
LGBT: SEBUAH GERAKAN PENULARAN
Oleh Adriano Rusfi
January 26, 2016
Mungkin ada yang heran
bertanya, kenapa saya begitu keras terhadap perilaku Lesbianism, Gay, Bisexual
and Transexualism (LGBT). Saya seakan penuh murka dan tak memberikan sedikitpun
ruang toleransi bagi pengidapnya.
Mungkin saya perlu klarifikasi
bahwa saya tidak sedang bicara tentang pelaku, orang dan oknum. Terhadap oknum,
orang dan pelaku LGBT, kita harus tetap mengutamakan kasih-sayang, berempati,
merangkul dan meluruskan mereka. Dan saya juga tidak sedang bicara tentang
sebuah perilaku personal dan partikular. Saya juga tak sedang bicara tentang
sebuah gaya hidup menyimpang yang menjangkiti sekelompok orang. Karena saya
sedang bicara tentang sebuah GERAKAN!!!
Ya, saya sedang bicara tentang
sebuah GERAKAN: ORGANIZED CRIME yang secara sistematis dan massif sedang
menularkan sebuah penyakit!!! Sekali lagi, bagi saya ini bukan semata perilaku
partikular, sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata sebuah gaya hidup,
tapi sebuah harakah: MOVEMENT!!!
Terlalu paranoidkah kesimpulan
ini???
Saya telah mengumpulkan begitu
banyak kesaksian di kampus-kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal kita yang
dipenetrasi secara massif agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi
darinya. Perilaku mereka sangat persis seperti sebuah sekte, kultus atau
gerakan-gerakan eksklusif lainnya: fanatik, eksklusif, penetratif dan
indoktrinatif. Ya, ini telah berkembang menjadi sebuah sekte seksual.
Kenapa mereka perlu menjadi
sebuah gerakan? Karena target mereka tak main-main: mendorong pranata hukum
agar eksistensi mereka sah secara legal. Dan untuk itu mereka membutuhkan
beberapa prasyarat:
Pertama, jumlah mereka harus
signifikan secara statistik, sehingga layak untuk mengubah asumsi, taksonomi
dan kategorisasi
Kedua, keberadaan mereka telah
memenuhi persyaratan populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas
Ketiga, perilaku mereka telah
diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO
Untuk memenuhi ketiga hal ini,
maka organisasi ini harus mampu menularkan penyimpangannya secara eksponensial
kepada lingkungannya. Mereka telah mempelajari hal itu dari keberhasilan
“perjuangan” saudara-saudara mereka di Amerika Serikat. Mereka sadar,
pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat
mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan. Mereka sadar, tanpa penularan mereka
akan punah!!!
Kenapa harus menyasar
mahasiswa???
Sebenarnya yang ingin mereka
sasar ada dua: Pertama, mahasiswa; dan yang kedua, institusi akademik.
Mereka
menyasar mahasiswa, karena mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan
kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat kost. Sedangkan institusi akademik
perguruan tinggi mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas
“kenormalan” mereka. Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung
HAM dan institusi internasional.***
What Can
We do?
Yang
kita hadapi ini adalah bukan main main. Jika dulu Komunitas LGBT masih malu
menampaka diri, karena “kelainan”nya, kini mereka ingin diterima oleh
masyarakat, dan berharap mereka akan eksis di berbagai bidang kehidupan. Bahkan
salah satu tokoh LGBT Dede oetomo mendaftarkan diri menjadi Komnas HAM.
Akan
selalu ada pertentangan , debat twitwar yang tak berkesudahan, karena mereka
yang menganggap LGBT itu normal adalah
orang yang pastinya tidak beragama. Jika dia sholat? Perlu dipertanyakan
sholatnya. Jika dia ke gereja, perlu ditanyakan apa sebenarnya tujuan di ake
gereja.
Semua
agama mengharamkan prilaku LGBT.
Mari
kita tetap lurus dan keras dan mendengung2 kan bahwa perilaku LGBT itu memang
perilaku yang keji, bahkan biantangpun tak melakukan nya.
Mari jaga
anak, keluarga, dan lingkungan kita dari perilaku LGBT.
Jika
mereka diberi tempat dan diberi angin bahwa apa yang mereka lakukan itu normal,
mereka akan semakin menjdai jadi. Kalian bisa cek akun akun LGBT, Khusunya yang
GAY, apa yang ada dipikirannya hanya sex belaka. Selfi tanpa baju ditempat
tidur, kapan bisa kencan dengan pasangannya, memperbaiki bodi biar terlihat
kekar, tak ada satupun yang peduli pada keprihatinan sosial yang sedang terjadi
di negri ini. Mereka hanya memikirkan sex, sex dan sex, sex yang kotor !!!
catat itu
Kembali
lagi, mari kita jaga mulai dari keluarga kita, lingkungan sekolah, juga para mahasiswa, karena LGBT
sudah masuk kampus-kampus.
Quu
anfusakum wa ahliikum naaran..