Oleh : Nadia E Hisyam
Sebagai seorang
anak biasa-biasa saja dari seorang tokoh Muhammadiyah yang luar biasa, saya
merasa berkewajiban untuk berkomentar, terlebih menambahkan apa yang Bapak
Amien Rais maksud dalam tulisannya. Supaya kita lebih leluasa memperoleh titik
terang dalam problema Muhammadiyah, yakni melahirkan kader-kader baru
Persyarikatan.
Bapak saya enam
tahun mengenyam pendidikan pesantren. Tentu kefasihan membaca dan memahami
Alquran dan kitab, berbahasa Arab, hingga berpidato tidak perlu diragukan. Kemudian
beliau melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Agama Islam, dan kini menjadi
tokoh Muhammadiyah daerah yang sehari-harinya mengisi pengajian, memimpin
rapat, menyulut militansi ortom, serta blusukan ke sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Ibu saya hanya tiga tahun mengenyam pendidikan pesantren, namun cukup memahami
bahasa Arab dan fasih membaca Alquran. Selanjutnya bersekolah di sekolah
menengah Muhammadiyah dan melanjutkan ke Universitas Islam. Kini Ibu saya
menjadi Tokoh Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah daerah, serta masih mau
menyibukkan diri mengajar anak-anak di sekitar rumah supaya mampu membaca
Alquran dengan mendirikan TPQ. Bagi anda barangkali luar biasa, bukan? Ini baru
kedua orangtua saya. Kedua orangtua dari Bapak saya juga tokoh Muhammadiyah dan
Aisyiyah, mereka berhasil mendirikan TPQ terbesar di kota, dan baru-baru ini
memprakarsai berdirinya SD Aisyiyah di kota mereka. Orangtua Ibu saya pun
keduanya tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah. Mereka memberikan sumbangan besar
bagi Muhammadiyah daerah dan nama keluarga Ibu saya dielu-elukan warga
Muhammadiyah. Saya Nadia Elasalama, (bangga) lahir dalam keadaan Muhammadiyah.
Bukan
meyombongkan diri, toh ini juga mengingatkan saya bahwa akan sangat
menyedihkan, sangat disayangkan, sangat memprihatinkan, sangat merugi—apabila
perjuangan Muhammadiyah berhenti pada generasi saya. Atau bahkan, berhenti pada
saya sendiri.
Saya dididik di
TK, SD, dan SMP milik Muhammadiyah. Selanjutnya saya melanjutkan sekolah ke SMA
negeri, pun hingga Perguruan Tinggi Negeri, dengan keinginan saya sendiri. Persis
seperti alasan klasik para pelajar Indonesia: ingin sekolah di SMA favorit, sebab
kira-kira mampu memenuhi keinginannya; supaya mudah mendapat akses berkuliah di
perguruan tinggi dengan jurusan yang kualifikasinya dianggap terbaik—atau
katakanlah bergengsi. Sesungguhnya alasan tersebut merupakan alasan yang
sesat pikir (fallacy), sebab keberhasilan dapat diperoleh di manapun, bahkan sama
sekali tak diperoleh walaupun berada di sarangnya. Namun ilmu yang saya ambil
di perguruan tinggi memanglah belum tersedia di Perguruan Tinggi Muhammadiyah,
pun sangat tak bergengsi. Meski pengetahuan agama tak terlalu luas dan bersekolah
di Muhammadiyah tak tuntas, saya besar berambisi kalau ilmu yang saya
ambil saat ini kelak dapat memberikan manfaat guna pergerakan perjuangan
Muhammadiyah melalui pengembangan ide dan konsep-konsep dasar maupun
penyelesaian masalah yang harus dihadapi bersama.
Tentu kedua
orangtua saya lebih menginginkan saya bersekolah di sekolah Muhammadiyah.
Supaya apabila saya berprestasi, maka saya mengharumkan nama sekolah
Muhammadiyah. Apabila sekolah Muhammadiyah itu mendidik siswanya dengan baik,
maka pastilah saya akan terdidik dengan baik.
Tidak
menyekolahkan anak di sekolah Muhammadiyah memang sungguh disayangkan. Namun,
tebuslah dengan cara lain. Kenalkan anak pada Muhammadiyah, organisasi Islam
paling keren dan progresif. Ajaklah ke pertemuan rutin supaya ia membayangkan perannya
kelak apabila aktif di Muhammadiyah, kemudian doronglah untuk bergabung ke
organisasi pemuda/kepelajaran Muhmmadiyah. Jadikan ia merindukan Muhammadiyah,
sehingga ia akan berusaha memberikan kontribusi melalui minat dan kemampuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar