24 Februari, 2016

PROPAGANDA LGBT YANG KIAN MASSIF

PROPAGANDA LGBT YANG KIAN MASSIF


Membahasa LGBT seperti tak habis habisnya, sejak disahkan nya UU pernikahan sejenis di beberapa negara, dan pada tahun 2103 Amerika akhirnya menyusul. Banyak pertentangan disana sisni, tapi faktanya Obama menndadatanganinya.

Di tanah air, Isu LGBT kembali marak. Apa Pasal? SGRC UI salah satu Komunitas LGBT mendapat pertentangan oleh UI bahwa komunitas nya bagian dari UI.
Nah, kasus ini sudah hampir sebulan bergulir, sampai kini tak berhenti juga. Debat demi debat, bak lewat facebook, twitter, bahkan televisipun bikin acara debat LGBT. Dari Kompas tv, sampai Tv one dan Tv Tv lain semua mengupas LGBT.

Akibat Penolakan dari UI akhirnya isu LGBT kembali bergulir. Lebih banyak yang Kontra dari pada yang pro. Hanya yang Pro memiliki kekuatan media yang cukup besar. Bahkan Facebook sebagai pendukung pernikahan sejenis, mmeblock akun akun aktivisi yang Kontra LGBT. Di Indonesia, Kelompok yang Pro LGBT adalah JIL, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPI, Salihara dll.

Hampir semua agama menolak LGBT, karena Hali itu adalah perbuatan yang sangat keji, melanggar fitrah. Bahkan di Al Qur’an di namakan “FAHISYAH” (KEJI). Perbuatan terkeji diantara perbuatan dosa yang sudah ada.

Tapi atas nama HAM, mereka ingin orang orang menerima kecenderungan sexual mereka kepada kaum sejenis adahal hal yang normal.

Berikut tulisan  Rita Subagyo , bahwa Komunitas LGBT sedang massif berlindung dibalik HAM, Psikologi dll, demi memuluskan tujuan hasrat rendah mereka.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/16/m5ptyy-waspadai-kampanye-lesbi-berkemasan-psikologi
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rita Soebagio*

Wahai umat Islam, hati-hati dan waspadalah! Mung kin, inilah penyakit baru yang akan direkomendasikan para psikolog sekuler sebagai mental disorder (gangguan jiwa) namanya homofobia!

Contoh kasusnya menimpa Darrun Ravi. Ia mantan mahasiswa Rutgers University Amerika yang dituntut 10 tahun dengan 15 tuntutan yang bermuara pada kesimpulan menderita homofobia. Dharun Ravi dianggap bertanggung jawab terhadap tewasnya Tyler Clementi, teman sekamarnya, yang bunuh diri pada 2010 (New York Time, 12 Maret 2012).

Ravi dengan latar belakang budaya India yang kuat, mengaku tidak nyaman melihat perilaku seksual Clementi yang kerap membawa teman gaynya di kamarnya. “Ketidaknyamanan” itulah yang dianggap juri di pengadilan, sebagai “bermasalah”.

Istilah homofobia adalah salah satu buah dari Gerakan Revolusi Seksual Modern yang mengarah pada legalisasi perilaku seks sejenis. Homofobia memandang aneh perilaku seksual, seperti lesbian, gay, transeksual, biseksual, seks pranikah, pornografi, dan fantasi seksual lainnya. (David Allyn, Make Love, Not War: The Sexual Revolution: An Unfet te red History. Little, Brown and Com pany, 2000), (Malik Badri, The Aids Crisis: A Natural Product of Modernity’s Sexual revolution. Kuala Lum pur: Medeena Books).

Istilah homofobia sendiri dicetuskan pada 1960-an oleh seorang psikolog George Winberg, untuk menggambarkan ketakutan yang terus menerus dan tidak rasional terhadap lesbian dan gay. Pada 1972, Winberg menuliskan dalam bukunya Society and the Healthy Homosexual. Pada saat hampir bersamaan, dari sisi prasangka sosial muncul istilah heteroseksisme, istilah yang mengandung analogi seperti seksisme dan rasisme.

GM Herek mengambarkan bahwa heteroseksisme merupakan sis em ideologi penolakan, pencemaran, dan stigmatisasi terhadap berbagai perilaku, identitas, hubungan, dan komunitas nonheteroseksual. Katanya, ini merupakan bentuk diskriminasi instutisional terhadap gay dan lesbian. (GM Herek, The Context of Anti-gay Violence: Notes on Cultural and Psychological Heterose xism. 1990. Journal of Interpersonal Violence, 5, 316-333).

Pascakasus di atas, Clementi dianggap Martir bagi dunia LGBT (Les bian, Gay, Biseksual, dan Trans gender) sementara tindakan Ravi dinilai oleh kelompok Gay Equality Forum sebagai “shocking, malicious, and heinous” (mengejutkan, berbaha ya dan keji). Penilaian kaum homo seksual terhadap kelompok hetero sek sual sudah dilakukan melalui pro pa ganda homoseksual selama 50 tahun ini.

Puncaknya terjadi pada 1989 dengan terbitnya buku yang sangat populer dalam komunitas homoseksual sehingga dianggap sebagai “kitab suci” atau manual book mereka, After the Ball: How America Will Conquer Its Fear and Hatred of Gays, karya pasangan psikolog gay, Marshall Kirk and Hunter Madsen. (Albert Mohler, After the Ball—Why the Homo sexual Movement Has Won. 2004. Crosswalk.com . June 3, 2004. Posted on Fri Jun 04 2004).

Pasangan psikolog gay, Marshal dan Hunter, memberikan pedoman bagaimana para aktivis homoseksual melakukan berbagai propaganda untuk mengubah opini publik agar homoseksual dipandang normal, tidak lagi dianggap sebagai mental illness, tetapi dipandang “sehat”. Dengan itu, masyarakat akan menerima perilaku mereka sampai mendapatkan hak khusus, tunjangan, dan hak istimewa.

Propaganda mereka dilakukan dengan cara menempatkan kaum LGBT sebagai pihak teraniaya dan kor ban dari sebuah tatanan masyarakat yang heteroseksis. Terhadap orang yang tidak setuju dengan LGBT, mereka berikan stigma sebagai orang bigot, hatters, and ignorants (fanatik, pembenci, dan bodoh). Dalam buku ini para aktivis homoseksual dan lesbianisme dibenarkan menggunakan setiap taktik, termasuk penipuan massal, berbohong, fitnah, kedengkian, intimidasi, kekerasan, dan lain-lain. Meskipun banyak akti vis pada awalnya mengutuk pende katan ini, namun setelah dirasakan manfaat dari keberhasilan kampanye propaganda mereka maka berbagai aktivis menjadi pembela utama di depan publik.

Puncak keberhasilan kampanye LGBT adalah ketika mereka berhasil mengeluarkan homoseksual dari DSM (Diagnostic and Statistic Manual of mental Disorder). DSM-I yang disusun pada 1952 oleh APA (American Psychiatric Association) dan edisi keduanya yang keluar pada 1968, masih memasukkan homoseksual sebagai penyimpangan dalam perilaku seksual. Homoseksual pertama kali dike luar kan pada 15 Agustus 1973, yang kemudian diganti dengan isti lah Egodys tonic homosexuality pa da DSM-III.

Istilah ini ternyata menuai kritik dari berbagai kalangan. Sehingga, pada akhirnya istilah Ego-dystonic homosexuality kemudian dikeluar kan pada 1986 dan diperkuat dengan revisi DSM-IIIR pada 1987. Du kung an terhadap DSM semakin menguat ketika pada 17 Mei 1990, WHO mencabut kata “homoseksualitas” dari International Classification of Diseases (ICD). Pada 1994, APA mengeluarkan lagi DSM-IV, yang akhirnya direvisi kembali manjadi DSMIVTR (text revision) pada 2000, yang seluruhnya sudah tidak ditemukan sama sekali homoseksualitas sebagai kelainan seksual.

Sementara itu, Indonesia sendiri dalam Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III sejak 1993 telah memasukkan homoseks dan biseks sebagai varian seksual yang setara dengan heteroseks dan bukan gangguan psikologis. PPDGJ-III merujuk pada standard dan sistem pengodean dari International Classification of Disease (ICD- 10) dan sistem multiaksis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV).

Jika pada DSM-I dan DSM-II homoseksual masih dianggap sebagai mental disorder yang didukung oleh 90 persen anggota APA maka pada DSM-IV keadaan menjadi berbalik ketika hanya tersisa 10 persen ang gota APA yang mendukung homoseksual sebagai sebuah penyimpangan. Dengan normalisasi homoseksual oleh berbagai kalangan maka penerimaan kelompok homoseksual oleh masyarakat bergerak ke arah positif. Dunia terbagi ke dalam dua opini, kelompok homoseksual dan antihomoseksual atau kerap disebut dengan homofobia.

LGBT Sabagai Sebuah Gerakan Penularan

Ini yang mngerikan, berikut Tulisan Psikolog UI Adriano Rusfi yang kii Akun FB nya di Hack oleh Facebook, karena lantang menyuarakan Pertentangan  terhadap LGBT.

LGBT: SEBUAH GERAKAN PENULARAN

Oleh Adriano Rusfi
January 26, 2016

Mungkin ada yang heran bertanya, kenapa saya begitu keras terhadap perilaku Lesbianism, Gay, Bisexual and Transexualism (LGBT). Saya seakan penuh murka dan tak memberikan sedikitpun ruang toleransi bagi pengidapnya.

Mungkin saya perlu klarifikasi bahwa saya tidak sedang bicara tentang pelaku, orang dan oknum. Terhadap oknum, orang dan pelaku LGBT, kita harus tetap mengutamakan kasih-sayang, berempati, merangkul dan meluruskan mereka. Dan saya juga tidak sedang bicara tentang sebuah perilaku personal dan partikular. Saya juga tak sedang bicara tentang sebuah gaya hidup menyimpang yang menjangkiti sekelompok orang. Karena saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN!!!

Ya, saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN: ORGANIZED CRIME yang secara sistematis dan massif sedang menularkan sebuah penyakit!!! Sekali lagi, bagi saya ini bukan semata perilaku partikular, sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata sebuah gaya hidup, tapi sebuah harakah: MOVEMENT!!!

Terlalu paranoidkah kesimpulan ini???

Saya telah mengumpulkan begitu banyak kesaksian di kampus-kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal kita yang dipenetrasi secara massif agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi darinya. Perilaku mereka sangat persis seperti sebuah sekte, kultus atau gerakan-gerakan eksklusif lainnya: fanatik, eksklusif, penetratif dan indoktrinatif. Ya, ini telah berkembang menjadi sebuah sekte seksual.

Kenapa mereka perlu menjadi sebuah gerakan? Karena target mereka tak main-main: mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara legal. Dan untuk itu mereka membutuhkan beberapa prasyarat:

Pertama, jumlah mereka harus signifikan secara statistik, sehingga layak untuk mengubah asumsi, taksonomi dan kategorisasi

Kedua, keberadaan mereka telah memenuhi persyaratan populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas

Ketiga, perilaku mereka telah diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO

Untuk memenuhi ketiga hal ini, maka organisasi ini harus mampu menularkan penyimpangannya secara eksponensial kepada lingkungannya. Mereka telah mempelajari hal itu dari keberhasilan “perjuangan” saudara-saudara mereka di Amerika Serikat. Mereka sadar, pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan. Mereka sadar, tanpa penularan mereka akan punah!!!

Kenapa harus menyasar mahasiswa???

Sebenarnya yang ingin mereka sasar ada dua: Pertama, mahasiswa; dan yang kedua, institusi akademik.

Mereka menyasar mahasiswa, karena mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat kost. Sedangkan institusi akademik perguruan tinggi mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas “kenormalan” mereka. Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM dan institusi internasional.***

What Can We do?

Yang kita hadapi ini adalah bukan main main. Jika dulu Komunitas LGBT masih malu menampaka diri, karena “kelainan”nya, kini mereka ingin diterima oleh masyarakat, dan berharap mereka akan eksis di berbagai bidang kehidupan. Bahkan salah satu tokoh LGBT Dede oetomo mendaftarkan diri menjadi Komnas HAM.

Akan selalu ada pertentangan , debat twitwar yang tak berkesudahan, karena mereka yang menganggap LGBT itu normal adalah  orang yang pastinya tidak beragama. Jika dia sholat? Perlu dipertanyakan sholatnya. Jika dia ke gereja, perlu ditanyakan apa sebenarnya tujuan di ake gereja.
Semua agama mengharamkan prilaku LGBT.

Mari kita tetap lurus dan keras dan mendengung2 kan bahwa perilaku LGBT itu memang perilaku yang keji, bahkan biantangpun tak melakukan nya.

Mari jaga anak, keluarga, dan lingkungan kita dari perilaku LGBT.
Jika mereka diberi tempat dan diberi angin bahwa apa yang mereka lakukan itu normal, mereka akan semakin menjdai jadi. Kalian bisa cek akun akun LGBT, Khusunya yang GAY, apa yang ada dipikirannya hanya sex belaka. Selfi tanpa baju ditempat tidur, kapan bisa kencan dengan pasangannya, memperbaiki bodi biar terlihat kekar, tak ada satupun yang peduli pada keprihatinan sosial yang sedang terjadi di negri ini. Mereka hanya memikirkan sex, sex dan sex, sex yang kotor !!! catat itu
 Kembali lagi, mari kita jaga mulai dari keluarga kita, lingkungan sekolah,  juga  para mahasiswa, karena LGBT sudah masuk kampus-kampus.

Quu anfusakum wa ahliikum naaran..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar