Penulis : Abduh Hisyam
Akhir pekan lalu saya dan istri ditemani Nadia -anak gadisku yang paling besar- berkunjung ke Yogya. Anakku terkecil Jasmine akan tampil di konser ulangtahun sekolahnya. Ia bersekolah di Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta. Saya sangat menunggu moment ini karena sudah lama tidak bertemu Jasmine. Saat liburan sekolah tempo hari ia hanya sebentar saya temui karena saya harus menunggu bapak selama seminggu di rumah sakit. Akhir pekan ini saat yang sangat saya tunggu-tunggu.
Akhir pekan lalu saya dan istri ditemani Nadia -anak gadisku yang paling besar- berkunjung ke Yogya. Anakku terkecil Jasmine akan tampil di konser ulangtahun sekolahnya. Ia bersekolah di Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta. Saya sangat menunggu moment ini karena sudah lama tidak bertemu Jasmine. Saat liburan sekolah tempo hari ia hanya sebentar saya temui karena saya harus menunggu bapak selama seminggu di rumah sakit. Akhir pekan ini saat yang sangat saya tunggu-tunggu.
Akhir pekan
yang lalu saya tidak mengajak Jasmine pergi ke Puncak, Jawa Barat untuk
menghadiri reuni bersama teman-teman Formaci Forum Mahasiswa Ciputat). Saya hanya
pergi bersama Nadia. Saya merasa tidak adil tidak mengajak Jasmine, sekalipun
alasan saya pasti sangat kuat karena Jasmine harus bersekolah sedangkan Nadia
masih libur. Kini saat menebus
kegundahan hati saya.
Semestinya
di Yogya saya akan bertemu dengan Yuniyanti Chudzaifah, anggota Komnas Perempuan, yang
sedang berlibur di Yogya. Namun saat
belum tiba di Yogya ia kirim pesan bahwa ia harus segera ke Jakarta karena ada
sahabatnya yang sedang sakit. Berangkat dari Kebumen pukul 9, kami tiba di
Yogya pukul 12:30. Perjalanan yang
lambat.
Sore hari
kami berjalan kaki di jalan Parangtritis, minum kopi dan wedang jahe di
angkringan dan bertanya-tanya tentang lokasi sate Klathak. Sepanjang jalan Pangtritis adalah tempat yang
sangat asyik untuk berjalan-jalan. Jarak
dari ujung jalan ke ujung lainnya sekitar 1,5 km. Tidak terlalu lelah jika kita menyusuri jalan
tersebut sambil melihat-lihat kiri kanan jalan.
Suasananya tidak tidak seramai jalan Malioboro, namun mengasyikkan. Banyak hotel kecil di sepanjang jalan.
***
Beberapa hari sebelum ke Yogya istri saya selalu
mengingatkan ingin mencicipi sate Klathak.
Ia sering mendengar sate Klathak namun belum pernah sekali pun merasakan
makanan itu. Saya pun menjawab dengan
sekenanya, bahwa tidak ada sate seenak sate Tegal. Oalah! Sindrom chauvinisme.
Mendenagr
namanya, Klathak, membuat saya berimajinasi sate itu penuh dengan tulang
sehingga jika dikunyah akan terdengar bunyi “..klathak…klathak..”
Sungguh
aneh nama kuliner yang saya pernah rasakan.
Kali ini sate yng akan kami cicipi adalah sate Klatahak. Beberapa waktu yang lalu sepulang dari
berlibur di kepulauan Karimunjawa kami berhenti di Secang,
tepatnya di kafe Kopi Klothok. Di telinga
orang Tegal, klothok adalah sebuah bunyi yang antara lain dihasilkan oleh
sebuah benda yang diletakkan di dalam bumbung bambo yang sudah tua, dan
dikocok-kocok. Bunyinya adalah ..”klothok..klothok..” Menurut empunya kafe, kopi Klothok adalah
perpaduan antara kopi Robusta dan Arabica.
Jika pulang kampung saat lebaran, di hampir setiap rumah di Tegal pasti
disediakan kacang klithik. Ini adalah
kacang yang rasanya mirip kacang Bogor (ada yang menyebutnya kacang Banten)
namun ukurannya kecil. Saat kecil di
bulan Ramadhan para tetangga sibuk merendam biji kacang ini lalu dikupas, dijemur dan digoreng. Teman-temanku banyak yang ikut mengupas
kacang ini agar bisa mendapat upah beberapa rupiah. Saat itu uang satu rupiah bisa untuk beli
aromanis atau gulali.
Selain sate klathak, kopi kothook, dan kacang klithik, ada juga
kluthuk. Ini sejenis pisang yang brbiji.
Kini saya sudah tidak pernah
memakannya. Padahal dulu banyak dijual
di warung-warung. Asyik juga makan
pisang dengan hati-hati memisahkan daging pisang dari biji-bijinya saat berada
di dalam mulut. Getah daun pisang kluthuk
sangat berkhasiat menyembuhkan luka.
Sate Klathak, kopi Klothok, kacang Klithik, dan pisang Kluthuk. Tinggal makanan
bernama klethek saja yang belum saya
dengar.
***
Episode
kali ini adalah hunting sate Klathak.
Saya sebetulnya tidak terlalu antusias. Namun karena istriku mengatakan bahwa sate
itu sangat enak, saya pun siap hunting, apalagi Jasmine mengaku sudah beberapa
kali ke Klathak. Ia mengatakan sate itu
sangat enak. Rasanya asin, katanya. Namun ia tidak tahu persis
lokasinya.
Kami ke
menuju ke lokasi sate Klatahak usai menyaksikan konser di sekolah Jasmine. Saat itu pukul 22:30. Dengan dipandu GPS yang dioperasikan Nadia kami
meluncur ke Pasar Jejeran, tempat sate Klathak.
Jika anda
sedang berada di Yogya dan ingin
menikmati sate Klathak, anda tinggal
meluncur ke arah Imogiri dari perempatan Giwangan. Terus saja meluncur ke arah selatan hingga
tiba di daerah Plered, tepatnya di Pasar Jejeran. Jika anda bertemu dengan MAN Plered atau SMK Muhammadiyah Plered, maka anda sudah berada sangat dekat. Tanya saja lah. Insyallah semua orang di situ tahu. Warung sate Klathak yang saya rekomendasikan
adalah Sate Klathak Pak Bari. Nama Pak
Bari mengingatkan saya kepada kitab Fathul Bari, sebuah kitab syarah Shahih
Bukhari. Saya juga teringat dengan pak
Abdul Bari, atau Dul Bari yang pernah tinggal sekampung denganku di Tegal saat
saya kecil.
Jika anda
datang ke Plered siang hari, warung pak Bari belum buka.
Namun tidak usah khawatir karena banyak warung sate Klathak lain yang
buka siang hingga malam hari. Warung pak
Bari hanya buka malam hari, dan lokasinya di Pasar Jejeran. Warungnya terbuka
dan tidak berdinding. Ia hanya
menggunakan ruang yang cukup lapang di dalam pasar. Di siang hari, ruang itu dipakai oleh para
pedagang untuk berjualan.
Memasuki
Plered anda akan bertemu dengan traffick light.
Beberapa meter arah selatan dari traffick light itu, monggo anda belok
kiri memasuki pasar. Di situ, di kiri
kanan jalan akan anda temui banyak mobil dan motor parkir. Jika anda beruntung, anda bisa langusng dapat
seporsi sate Klathak, yaitu dua tusuk sate.
Daging sate ditusuk dengan kawat –mungkin bekas ruji sepeda—dan dibakar. Rasanya asin.
Sate itu dihidangkan dengan kuah kari.
Sambil menunggu sate dihidangkan, anda akan didatangi pelayan yang menawari
minuman. The poci dengan gula batu adalah
minuman yang sangat pas. The disajikan
di dalam poci logam kecil yang berwarna hijau putih. Saya teringat saat kecil dulu nenekku punya
teko seperti itu. Warnanya juga hijau
putih.
Jika
pengunjung banyak, seperti saat saya datang yaitu pas malam Minggu, anda harus
sabar mengantri. Namun anda bisa saja tidak mendapat jatah secuil pun. Tapi jangan khawatir, duduk-duduk di warung itu sambil minum teh
poci bisa menghilangkan kekecewaan karena tidak kebagian sate. Suasana di warung itu sangat mengesankan. Anda bisa memilih tempat duduk di mana
saja. Mau lesehan boleh, mau duduk di
atas kursi juga monggo. Mau di tempat
yang terang benderang bisa, mau di tempat yang remang-remang juga bisa. i luar ruang juga disediakan meja kursi. Memandang para pengunjung yang ada diwarung itu pun sudah membahagiakan
hati. Kebanyakan orang-orang yang datang ganteng,
cantik, banyak yang berbusana muslimah, tidak sedikit pula yang pakaiannnya
terbuka. Ada pula sekelompok
pengunjung yang penampilannya sangat ndeso, baik wajah maupun pakaian serta
obrolannya. Asyik.
Saat saya
tiba, warung sedang penuh pengunjung.
Waktu menunjukkan pukul 23:00.
Televisi tua yang ada di warung itu sedang menayangkan siaran pertandingan
Liga Spanyol antara Bercelona vs Atletico Madrid. Setelah pesan minuman, saya ke tempat orang
yang sedang mengipas sate dan langsung pesan.
Ternyata orang yang mengipasi sate itu adalah yang bernama pak Bari. Orangnya berbadan gempal dan usianya baru
empat puluh limaan. Barangkali sebaya
saya. Saya pun memesan sate dan nasi
empat porsi. Ternyata pak Bari
mengatakan bahwa sate habis. Saya
bilang kepada istri yang segera menuju pak Bari. Saya dengan enteng pergi ke depan layar TV
dan menonton Barcelona. Tidak dapat
sate, tapi bisa nonton Barca. Impas.
Entah apa
yang dikatakan istriku. Akhirnya Pak Bari bilang bahwa jatah sate
untuk kami ada. Bahkan ketika kami
menambah satu porsi tongseng, o ternyata bisa.
Wah. Alhamdulillah! Kami pun
meyantap hidangan sate Klathak malam itu hingga tandas.
Masih banyak orang berdatangan yang harus pulang lagi dengan gigit jari karena kehabisan sate. Saat saya beranjak pergi, masih banyak orang yang mengobrol di warung itu. Sungguh menyenangkan menghabiskan malam di tempat itu.
***
Rasa sate
Klathak menurut saya tidak istimewa.
Bagi saya sate Tegal adalah sate terenak yang pernah saya nikmati. Akan tetapi suasana warung pak Bari itulah
yang membuat saya ingin datang lagi ke sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar