18 Juli, 2020

KISAH TENTANG CERPEN “SUNAT”
Kultum Subuh Oleh Abduh Hisyam
17/07/2020

Di lemari buku tua peninggalan Bapak berjejer novel karya Pramoedya Ananta Toer (PAT), Maxim Gorky, dan kumpulan puisi Sitor Situmorang.  Walau bapak tokoh Muhammadiyah dan bangga sebagai seorang Masyumi, beliau senang membaca karya-karya PAT dan puisi-puisi  Sitor Situmorang yang notabene berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).  Saya ingat beliau pernah mengutip sajak Sitor Situmorang” “Malam Lebaran. Bulan Di Atas Kuburan”  di dalam khutbah Jumat. 

Di antara kumpulan buku karya PAT terdapat “Cerita Dari Blora” sebuah buku kumpulan cerpen yang ditulis saat PAT masih berusia duapuluh tahunan, sebuah usia yang masih sangat belia. Dalam kumpulan cerpen itu ada sebuah kisah bertajuk “Sunat”.   PAT sungguh pandai melukiskan tragedi kehidupan manusia secara ringkas dalam sebuah cerita pendek.  Ia memotret perasaan takut dan gembira seorang anak kecil usia 9 tahun yang akan disunat.  Suasana pedesaan di Blora di perempat pertama  abad 20  saat perayaan sunatan digambarkan secara fotografis, sehingga pembaca seolah masuk dan ikut tergabung di dalam pesta.   Ia seorang penutur kisah yang sangat realis.

Cerpen bertajuk Sunat dalam kumpulan Certia dari Blora mengisahkan seorang anak yang sangat gembira namun juga takut saat hendak disunat.  Ia takut karena disunat berarti dipotong sebagian daging kemaluannya yang tentu meninggalkan rasa sakit.  Walau banyak anak yang lebih dulu disunat mengatakan bahwa disunat itu tidak sakit, namun tetap saja kengerian membayang di benak.  Akan tetapi sunat mendatangkan kegembiraan karena seorang ia menjadi pembeda antara yang telah dewasa dan yang belum dan antara yang saleh dan tidak saleh.  Anak yang usianya lebih tua akan merasa minder dengan anak kecil yang telah disunat.  Seorang yang telah disunat dianggap telah menjadi seorang yang telah beragama Islam yang sebenar-benarnya.  Islam sejati.  Dan yang lebih membuat seorang anak gembira saat akan disunat  adalah banyaknya hadiah yang akan diterima pada saat ia duduk di atas kursi bak raja dan para tetamu mengucapkan selamat sambil memberikan tepukan di pundak.

Dalam cerpen itu juga diceritakan bagaimana kenduri upacara sunatan bak hiburan pasar malam di kota kecil Blora. Dikisahkan bahwa sang bunda  tampak cantik dan kenes karena mengenakan kebaya baru hadiah dari adiknya yang menjadi guru di kota R.  Acara dilangusngkan di gedung sekolah yang didirikan Ayah yang sekat-sekat kelasnya dibuka sehinga menyerupai aula besar memanjang.  Ayah tampak gagah berjas tutup berkain batik walau tanpa alas kaki.

Di akhir cerita Ibu bertanya kepada sang tokoh, apakah dirinya merasa telah menjadi Islam sejati.  Tersentak oleh pertanyaan itu, tokoh kita menjawab dengan polos bahwa ia tidak merasa telah menjadi seorang Islam yang sejati.  Ia tidak merasakan perubahan apa pun sebagai seorang Islam.  Ibunya kemudian menasehati bahwa jika belum merasa menjadi Islam sejati maka kamu harus naik haji seperti sang kakek.  Naik haji berarti naik kapal ke negeri Arab, pikir sang tokoh.  Tapi ia ingat bahwa Ayah bukan seorang haji.  “Mengapa Ayah tidak berhaji,” tanya sang tokoh kepada ibunda.  “Bapakmu tdak berhaji karena miskin.” 

Sang tokoh yang dinarasikan oleh Pramoedya sebagai aku, sangat kecewa dan berkecil hati ketika dikatakan bahwa menjadi Islam sejat berarti harus pergi haji, naik kapal ke negeri Arab.  Itu berarti ia harus kaya, padahal ia sejak kecil tidak pernah melihat dan merasakan kecuali kemiskinan.  Di sekelilingnya ia hanya menemukan anak-anak miskin. Walau bapaknya seorang guru dan pendiri sekolah namun ia tetap miskin.  Tokoh kita tidak merasa mampu menjadi seorang yang kaya, dan tidak akan  bisa menjadi seorang Islam sejati.

PAT memberikan gambaran getir seorang tokoh yang lahir di tengah keluarga miskin.  Ia merasa tidak akan mampu menjadi kaya.  Sebuah padangan yang sangat fatalsitik. Bagai si pungguk merindukan bulan.  Ia merasa sangat jauh untuk dapat menunaikan ibadah haji.  Di dalam paragraf terakhirnya terselip sindiran kepada agama, bahwa agama Islam hanya untuk orang kaya, yang mampu mengumpulkan uang untuk membeli tiket kapal ke negeri Arab. 

Sebagai seorang yang sangat berempati kepada nasib orang-orang miskin, gambaran kemiskinan yang dilukiskan PAT dalam karya-karyanya sangat mengugah kesadaran akan kelas.  Namun dalam kisah “Sunat” semestinya PAT mampu mengembangkan sebuah harapan dan cita-cita seorang anak usia 9 tahun untuk menjadi seorang yang mampu mengumpulkan harta sehingga dapat menunaikan ibadah haji.  Entah mengapa PAT langsung melukiskan kekecewaan dan pupusnya harapan sang anak untuk menjadi serang Islam sejati karena ia lahir di lingkungan keluarga miskin.   Padahal banyak cerpenis dan novelis yang menyelipkan pesan optimis kepada semesta pembaca terutama generasi muda agar berani bermimpi mengubah nasib.  Andrea Hirata misalnya, menulis novel “Sang Pemimpi” tentang anak-anak miskin Pulu Belitung yang punya mimpi bersekolah di Sorbone, Perancis.  Ahmad Tohari juga seorang cerpenis yang senantiasa menceritakan orang-orang miskin, namun ia menyodorkan gambaran bahwa di tengah penderitaannya mereka tetap dapat merasakan kebahagiaan, dan selalu mampu menertawakan nasib mereka sendiri.

Di cerpennya ini PAT menunjukkan filsafat hidup dan ideologinya.  Ia hendak menyampiakan pesan bahwa agama, dalam hal ini Islam, adalah agama kaum borjuis dan bukan agama untuk kaum miskin.  Bagi seorang santri seperti saya tentu saya menyangkal karena agama ini sejak awal lahirnya adalah memperjuangkan kaum miskin dan tertindas di kota Mekkah.  Bahkan ketauhidan seseorang tak bermakna apa pun jika tidak dikaitkan dengan perjuangan mengakkan  keadilan dengan membela kaum miskin.   PAT bukan seorang yang hidup di lingkungan santri.  Ia sejak muda (cerpen ini ditulis saat PAT berusia 20 tahunan) telah percaya kepada garis perjuangan kaum proletar yang berangkat dari materialisme.  Menurut ideloginya, agama tidak punya tempat dalam perjuangan kaum buruh-petani miskin mewujudkan masyarakat komunis.  Agama justru meninabobokkan manusia papa lewat iming-iming kebahagiaan di alam akherat sana.  Lewat cerpen “Sunat” ini saya merasakan misi yang ia gelorakan sebagai  seorang komunis atau simpatisannya, suatu hal yang selalu ia sangkal.  Sekalipun demikian cerpen-cerpennya sangat layak dibaca dan para pembaca tidak perlu khawatir menjadi komunis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar