03 Juli, 2020

KISAH TENTANG NAMA
Kultum oleh Abduh Hisyam
Selasa, 30 Juni 2020

Shakespeare mengatakan, “What is in a name?” Apa arti sebuah nama.  Nabi mengajarkan kepada kita bahwa nama adalah doa.  Pada sebuah nama tersimpan sebuah harapan dan cita-cita.  Kita diperintahkan menamai anak kita  dengan nama yang baik.

Saat lahir saya diberi nama Muhammad Abduh.  Bagi orang Jawa nama Abduh terdengar aneh.  Di sekolah dasar, saat saya memperkenalkan diri teman-temanku berteriak; “aduh..aduuuuh.” Demikian pula saat saya ikut mengaji di sebuah madrasah di sore hari.  Tidak sedikit anak-anak mengejek namaku.  Saya tentu sedih.  Teman-temanku bernama Waluyo Rahmanto, Agus Susetianto, Rahmawan Pitoyo, Vivi Cahyaningsih, Laily Amaliyah atau Drajat Winanjar.  Mereka tidak pernah diejek karena nama.  Nama-nama mereka lebih mudah diterima daripada namaku. 

Saat orang-orang memanggilku, kebanyakan mereka keliru memanggilku  Abdul.  Nama Abdul lebih popular daripada Abduh.  Hingga kini masih ada orang-orang yang keliru tiap kali menyebut namaku.  Di antara mereka menyebutku  Afdoh.  Ada pula yang memanggilku Ngabduh.  Mereka terlalu fasih   melafalkan huruf ‘ain sehingga menjadi nga. 

Salah ucap ini bikin masalah. Suatu hari saya mendapat jadwal mengisi kultum usai tarawih di masjid PKU Muhammadiyah Sruweng.  Saya cari  nama saya di deretan huruf A.  Tidak ketemu.  Siapa tahu ada di uruf M, tidak ketemu juga.  Saya pikir panitia lupa memberiku jadwal.  Saat mereka saya tegur, mereka bersikeras menyantumkan namaku. Setelah bolak balik mencari, ternyata namaku ada di deretan huruf N.  Tertulis namaku  Ngabduh. 

Karena merasa tidak nyaman dengan nama saya, saya tanyakan kepada ibuku arti nama Muhammad Abduh.  Ibuku menjawab, Arti namamu “orang yang terpuji hamba Allah.”  Saya pikir cukup bagus, tapi mengapa banyak orang tidak akrab dengan namaku.  Tetap saja tiap hari  anak-anak tetangga mengejekku.  Saat aku berjalan, mereka pura-pura jatuh dan berteriak: “Aduh.” Sudahlah saya terima saja.  Hingga suatu hari salah seorang pamanku Om Cacik menunjukkan kepadaku sebuah tulisan di majalah Panji Masyrkat tentang Syeikh Muhammad Abduh: “Penggagas Islam Modern di Mesir,” lengkap dengan fotonya, seorang  lelaki tua bermata tajam, bersurban dan berjenggot.  Wow!  Ternyata Muhammad Abduh ini orang hebat.  Sejak saat itu tumbuh kebanggaan dalam hati.   Ibuku menamaiku Muhammad Abduh tentu agar saya menjadi pahlawan Islam sebagaimana tokoh pembaharu dari Mesir itu.

Suasana psikologisku berubah total ketika saya masuk Gontor.  Tiap kali para guru membaca daftar nama murid, dan sampai kepada namaku, hampir semua guru pasti berkomentar positif tentang sosok Muhammad Abduh sang pemabahru Islam dari Mesir.  Gontor adalah pesantren modern, sedangkan Abduh adalah tokoh modernis.  Gagasan Abduh tentu sangat cocok dengan visi pendidikan Gontor.  Komentar para guru ini memberikan motivasi kuat pada saya untuk belajar.

Sungguh jauh perbedaan antara lingkungan saat saya di sekolah umum dengan saat saya di Gontor.  Di SD karena guru-guru dan kawan-kawan saya kebanyakan adalah  abangan, mereka sangat asing dengan namaku.  Namun di Gontor, nama Abduh  menuai sanjung dan puji.  Walau sanjung dan puji itu bukan buatku, namun saya ikut menikmatinya.

Ketidaknyamanan dengan nama pemberian orangtua dialami pula oleh seorang aktifis politik berkebangsaan Palestina, Edward Said.  Di dalam memoarnya, Out of Place, kritikus sastra ini  merasa asing dari namanya ssendiri.  Di telinganya sendiri nama itu terdengar bodoh.  Bagaimana mungkin seorang anak Arab bernama Edward, padahal teman-teman sekolahnya tidak ada yang menggunakan nama Eropa, seperti  Omar Sharif (kelak aktor Hollywood), dan Hussein Talal (kelak raja Yordania).  Nama mereka benar-benar Arab,  tidak sebagaimana nama dirinya.  Namun akhirnya ia nyaman saja dengan nama tersebut, apalagi setelah hijrah ke Amerika Serikat.  Ia seolah memiliki dua identitas: Arab dan Eropa.  Dan dengan identitas tersebut ia memperjuangkan nasib bangsa Palestina. 

Paling tidak ada kesamaan antara saya dengan Edward Said.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar