06 Juni, 2020

Teladan Keluarga 1

TELADAN KELUARGA (1)
Kuliah Subuh oleh Abduh Hisyam
5/06/2020

Allah telah memberikan kepda umat manusia dua  tokoh teladan  yang perilaku, sifat dan perbuatannya dapat menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari.  Dua orang tokoh tersebut adalah  Nabi Ibrahim as dan Muhammad saw. 
قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim  (Almumtahanah/60:4)

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (Alahzab/33:21)

Manusia tidak akan tersesat dan tidak akan galau dalam menjalani pahit getirnya hidup jika mau mempelajari riwayat hidup dua orang Nabi Allah yang sangat berpengaruh itu.  Nabi Ibrahim adalah tokoh yang sangat kuat dalam memegang prinsip tauhid dan  berjiwa pengorbanan tinggi, serta Nabi Muhammad adalah seorang yang sangat baik akhlaknya, lemah lembut, namun siap bertempur melawan kezaliman dan ketidakadilan.

Di tingkat kenegaraan, kita punya para pahlawan yang harus diteladani perjuangannnya oleh generasi muda bangsa.  Sudah berapa banyak pahlawan nasional yang kehidupannya dipelajari oleh generasi muda kita?

Di dalam keluarga, setiap orang hendaknya dikenalkan dengan sosok keluarga yang menjadi teladan agar memotivasi para anggota keluarga untuk berbuat baik, gigih dan tidak pantang menyerah.  Menceritakan kehidupan kakek buyut kita yang hidup di zaman penjajahan dan berjuang menolong orang banyak, umpamanya, akan menimbulkan kekaguman dan imajinasi tentang sosok idola di dalam keluarga.  Sosok kakek atau bapak adalah sosok yang nyata dan sangat dekat sehingga menirunya bukan suatu hal mustahil.

Pada subuh ini saya mengenalkan sosok kakek buyut anak-anak saya bernama Haji Moeflich.  Beliau adalah kepala desa Jabres selama 40 tahun  lebih sejak masa penjajahan Belanda.  Beliau menjadi pemimpin di desanya melalui pergolakan zaman yang tidak menentu:  zaman penjajahan Belanda, zaman Jeoang, zaman Kemerdekaan, zaman pergolakan local (AOI), zaman demokrasi liberal, masa Orde Lama, dan masa orde Baru. Lima zaman ia lalui dengan penuh suka duka. Namun sosok mbah HM, begitu beliau dipanggil, adalah seorang yang penuh senyum, jenaka dan selalu riang.  Tubuhnya kecil namun kekar dan kuat. Di masa mudanya beliau adalah seniman pemain biola yang amat piawai.

Ketika saya pertama kali tiba di Kebumen, orang mengenal saya sebagai sales mesin pres genteng buatan Tegal.  Tiap hari pekerjaan saya adalah bertamu dari satu pabrik ke pabrik lain, menawarkan mesin produk perusahaan Bapak saya di Tegal. Dengan cepat saya akrab dengan warga Kebumen, terutama keluarga Jabres.  Mungkin karena setiap kali saya berkunjung saya selalu bicara tentang dakwah dan  Muhammadiyah. Maka saya cepat dikenal di keluarga pengusaha genteng Jabres yang sebagian besar adalah anak-anak Mbah HM.

Pada suatu hari saya mengantarkan mesin pesanan mbah HM. Mesin itu tiba saat hari sudah gelap, dan hujan turun.  Saat tiba di rumah Mbah HM, beliau meminta saya menurunkan mesin keesokan pagi saja, karena sudah malam. Mesin itu bobotnya hampir tujuh kwintal. Sangat berat dan dibutuhkan beberpa orang berbadan kuat untuk menurunkannya.  Malam hari karyawan sudah tidak ada.  Namun saya katakan bahwa mesin harus dibongkar malam ini juga, karena truck pengangkutnya harus segera kembali ke Tegal untuk digunakan bekerja  besok pagi. Mbah HM mempersilakan namun saya harus cari sendiri tenaga yang akan menurunkan. Mbah HM kemudian bergumam,”Hubbu Dunya     حب الدنيا. (berlebihan dalam cinta dunia) Ngoyo,”    sambil geleng-geleng kepala.  Sejam kemudian saya sudah berada di rumah beiau yang juga menjadi kantor, dan saya katakan bahwa saya sudah menurunkan mesin di tempat yang telah ditentukan.  Belaiu terkejut mendengar saya telah menurunkan dengan cepat. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan sambil  tersnyum  berkata, “Ihris li dunyaka kaannaka ta’isyu Abadan.  Wa’mal li akhiratika ka’annaka tamutu ghadan.”

احرس لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل لاخرتك كانك تموت غدا
Jaga kehidupan duniamu seolah engkau akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati esok hari.


Sungguh saya sangat terkesan keada beliau.  Dari hadits yang beiau ucapkan, beliau tentu seorang yang cukup alim atau paling tidak pernah mengenyam pendidikan agama walau tidak formal. 

Sebelum pamit dari rumah belaiu, kami sempat berbincang-bincang tentang Amien Rais, sosok yang sedang menjadi berita di mana-mana karena artikelnya yang bertajuk “Suksesi 1997: Sebuah Keharusan.”   Saya paling banyak bicara , dan beliau menjadi pendengar yang sesekali menimpali dengan kata: “wah!”   “Oh!”.  Saya kemudian pamit, setelah menghabiskan secangkir kopi, tentu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar