06 Juni, 2020

Teladan Keluarga 2

TELADAN KELUARGA 2
Kultum oleh Abduh Hisyam
5/06/2020

Pada suatu hari di tahun 1995 saya  diminta menyampaikan khutbah Jumat di masjid Nurul Islam di Pasar Tengok Sruweng.  Usai salat Jumat saya dibisiki oleh mbah HM, bahwa saya lain kali jika berkhutbah sebaiknya mengenakan sarung.  Saya saat itu mengenakan celana panjang, kemeja batik dan kopiah.  Pakaian saya sudah sah saha dan sudah sangat sopan, namuan seorang khatib Jumat di desa sepantasnya mengenakan sarung.  Pakaian yang saya kenakan adalah pakaian priyayi.. Cocoknya untuk para guru.  Saya tersenyum.  Mbah HM mengingatkan kepada saya agar memperhatikan suasana kultur masyarkaat desa agar saya, sebagai mubaligh,  lebih mudah diterima.

Pakaian saya sudah syar’I namun tidak ma’ruf.  Kebiasaan dan kearifan lokal harus menjadi perhatian dalam menyampaikan petuah-petuah agama.

Hingga beberapa saat  nasehat mbah HM itu selalu terngiang di telinga, bahwa penguasaan akan budaya menjadi hal sangat penting dalam berdakwah.  Saya sampaikan kepada pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kebumen saat itu agar mengadakan Training Mubaligh Muda. Teman-teman setuju dan menugasi saya menjadi ketua panitia training tersebut. Pesertanya adalah para pemuda se-kabupaten Kebumen.  Acara diadakan di masjid Nurul Islam dan gedung TPQ di lingkungan masjid. Pesertanya cukup banyak, ada empatpuluh orang.  Di antara yang menjadi pemateri adalah  Drs. Tafsir dosen dari IAIN Walisanga Semarang.

Karena sibuk mengatur tempat training, pembicara serta penggandaan materi, serta minimnya personil panitia, saya tidak sempat menyampaikan surat perijinan kepada aparat pemerintah, termasuk Polsek Sruweng yang letak kantornya hanya sepelemparan batu saja. 

Saat itu, tahun 1996, rejim Orde Baru sedang  berada di puncak kekuasaannya.  Semua kegiatan masyarakat dimata-matai oleh negara.  Tidak mudah menyelenggarakan pertemuan atau rapat-rapat.  Semua pertemuan harus telebih dahulu mengajukan ijin kepada RT, RW, Desa, dan Polsek seerta Koramil. Jika tanpa ijin, sebuah pertemuan sudah pasti dianggap illegal dan dibubarkan. Bukan hanya sekedar dibubarkan, para peserta rapat dapat dituduh mengadakan rapat rahasia untuk merongrong kewibawaan pemerintah serta dapat dianggap musuh negara.  Bukan itu saja, cap musuh Pancasila dapat menghinggapi mereka yang berani mengadakan pertemuan tanpa ijin.

Kami panitia sangat gelisah. Bayangan acara dibubarka paksa sudah di depan mata.  Tiba-tiba salah seorang kawan, mas Yulies Suharyadi berkata dengan seenaknya. “Kalau nanti ada aparat datang menanyakan ijin pertemuan Training Tabligh ini, bilang saja bahwa kita sudah diijinkan oleh mbah HM.”  Saya dan beberapa teman tertawa mendengar usulan itu, namun kami sepakat dan merasa lega.  Ya, bukankah mbah HM adalah sosok yang sangat disegani di Sruweng ini?

Benar saja, training berlangsung dengan lancer dan aman.  Aparat kepolisian tidak ada yang berani mengusik acara kami, hanya karena kami mengatakan didukung oleh Mbah HM. Mendenagar jawaban itu pak Polisi  tidak bernai berbuat apa-apa,. Mereka segan kepada mbah HM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar