06 Juni, 2020

5 Yang Merusak Hati

LIMA PERKARA YANG MERUSAK HATI
Kultum Subuh oleh Navi agustina
07/06/2020

Ada orang  merancang program kerja  bagus untuk hidupnya, namun sebelum programnya terwujud ia sudah melupakannya dan melakukan hal-hal yang menyimpang bahkan bertentangan dengan rencana yang telah ia susun.  Ada seorang anak yang sejak kecil dididik orangtuanya dengan baik, namun menjelang dewasa ia bagai orang tak terpelajar, hidupnya tidak teratur dan acapkali membahayakan diri dan lingkungannya.  Mengapa hal ini terjadi?
Menurut Buya Hamka, berbeloknya seseorang dari jalur kebaikan menuju ke jalur keburukan adalah karena tekad yang sudah tertanam sejak awal meluntur.  Hati yang teguh mulai melemah, sehingga kandas di tengah jalan.  Dalam buku “Kesepaduan antara Iman dan Amal Saleh” Buya Hamka  membahas tentang masalah rusaknya hati  ini dengan merujuk kepada kitab “Madarij as Salikin” karya Ibnu Qayim Aljauzi.  Menurut Ibnu Qayim ada lima hal yang dapat merusak hati.

PERTAMA, salah memilih teman.
Sebagai zon politikon, manusia tidak dapat hidup seorang diri.  Ia tergantung kepada sesamanya.  Seseorang yang hidup menyendiri, kejiwaannya tidak sempurna.  Ia harus dibantu dan membantu, dipengaruhi dan mempengaruhi orang lain.  Jika orang yang berada di lingkunga kita baik, maka kita cenderung menjadi baik.  Ibarat pepatah, ‘berteman dengan saudagar ikan, badan kita amis.  Berteman dengan penjual cendana, badan kita wangi.”

Memilih teman atau pasangan hidup sangat penting.  Secara akal sehat kita dapat menilai apakah seseorang baik atau tidak.  Ada orang yang cocok diajak bersenang-senang, namun tidak dapat diajak bekerjasama.  Ada yang selalu datang kepada kita saat kita senang, namun  saat kita susah mereka menghilang.

Kejujuran, empati, kehalusan budi, adalah nilai-nilai yang harus kita perhatikan saat mendekati seseorang untuk dijadikan teman.  Dalam mencari pasangan hidup orangtua kita secara tradisional mengajarkan kita untuk memperhatikan “bobot, bibit, bebet’ (akhlak, latarbelakang keluarga, harta). Kriteria kebanyakan orang dalam memilih pasangan hidup adalah kecantikan, harta, keuturunan, dan agama. Nabi mengajarkan kepada kita agar menomorsatukan agama sebelum ketampanan, harta, dan keturunan.

Teman dapat membawa seseorang  kepada kebaikan, disiplin, senang bekerja menolong orang yang menderita.   Teman dapat pula membuat seseorang   jahat, hidup tidak teratur, malas dan tidak peduli kepada orang lain.  Kelak karena perbuatannya yang tidak baik maka seseorang  akan terjerumus ke dalam api neraka.  Pada saat itu ia akan menyesal karena telah melakukan perbuatan dosa akibat bujukan teman. Dan ia berkata:
يَٰوَيۡلَتَىٰ لَيۡتَنِي لَمۡ أَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِيلٗا ٢٨
Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku) (Alfurqan/25:28)

Walau orang-orang jahat itu pada saat berjaya adalah berteman, kelak jika mereka diajukan ke meja hijau, maka masing-masing diri mereka akan mengatakan diri mereka tidak bersalah.  Mereka akan saling tuding dan saling menyalahkan. 

ٱلۡأَخِلَّآءُ يَوۡمَئِذِۢ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلۡمُتَّقِينَ ٦٧
Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa (Zukhruf/43:67)

KEDUA, hidup dalam angan-angan.
Seseorang harus mempunyai cita-cita setinggi langit.  Dan untuk mewujudkan cita-cita yang tinggi itu, ia harus realistis dengan bekerja sesuai kemampuan.  Jangan sampai seseorang hanya mengkhayalkan kehidupan yang penuh kenikmatan namun ia tak kunjung bergerak untuk menggapai impiannya.  Demikian pula dengan seseorang yang menginginkan kehidupan bahagia, ia memulai kebahagiaan itu dari dirinya sendiri, dan tidak dapat mengharapkan orang lain membahagiakan dirinya.  Banyak orang ingin mempunyai pendamping hidup yang tampan, cerdas, dan kaya.  Sungguh sempurna pasangannya itu bak Raden Kamajaya. Namun itu semua hanya ada dalam angan-angan.  Tidak pernah ada di dunia nyata, karena manusia tak ada yang sempurna. Ia mungkin tampan, cerdas, namun tidak kaya.  Kaya, pintar, namun tidak tampan.  Tampan, kaya, namun bodoh.  Selalu saja berkekurangan.

Di dalam perjuangan, ada saja orang yang tidak berfikir untuk kepentingan bersama, yang selalu diimpikan adalah keuntungan pribadi. Ibarat kaum muslimin yang ikut dalam Perang Uhud.  Banyak di antara   anggota pasukan Nabi yang hanya berfikir untuk mendpatkan harta rampasan perang.  Motivasi mereka bukan untuk membela agama Allah, melainkan untuk mendpatkan harta. Akibatnya, semangat tempur mereka meredup saat mereka melihat harta milik musuh tercecer di medan tempur, padahal pertempuran belum usai.  Angan-angan untuk mendapatkan harta telah mrusak hati mereka. 

KETIGA, bergantung kepada selain Allah.
Manusia senantiasa merindukan zat maha besar yang dapat menjadi tempat bergantung atau berlindung.  Ada kerinduan kepada Yang Kudus, kata Rudolf Otto.  Manusia merindukan sesuatu yang misterius, mengagumkan, dan menumbuhkan pesona (misterium, tremendum, fasinatum). Zat itu oleh orang-orang beragama disebut Tuhan.  Seorang ahli sejarah agama bernama Mircea Eliade menamakan kecenderungan ini dengan nama homo religiusis.  Alquran menyebutnya dengan “fitrah.” Kerinduan akan yang maha kuat, maha kaya dan maha kudus itu harus mendapatkan pedoman atau petunjuk yang benar, karena jika tidak maka manusia akan menjadikan apa pun yang menakutkan sebagai obyek sesembahan. 

Setelah bekerja demi meraih cita-cita, maka ia harus pasrah kepada Allah semata.   Mereka yang memasrahkan dirinya kepada selain Allah sudah pasti akan celaka.   Karena segala sesuatu selain Allah adalah nisbi dan bersifat sementara.   Hanya Allah yang mutlak dan kekal.  Seseorang yang bergantung kepada manusia, maka nasibnya hanya akan menjadi budak manusia lain.   Sungguh rugi manusia seperti ini. 

KEEMPAT, banyak makan.
Semua makhluk  hdiup pasti butuh makan.  Pangan adalah kebutuhan yang sangat pokok.  Sebelum membutuhkan apa pun, seorang manusia harus terpenuhi kebutuhan pangannnya.  Meskipun demikian manusia tidak boleh berlebihan dalam mengkonsumsi makanan. 

Rasulullah bersabda, “Kita adalah sekelompok orang yang tidak akan makan sebelum lapar, dan jika makan tak pernah kenyang.”  Konon perut kita harus diisi sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiga untuk udara.
كُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan (Ala’raf/7:31)
Mereka yang berlebihan saat makan menunjukkan watak rakus. Ia akan mengambil yang melebihi kebutuhannya, dan tidak berpikir ada orang lain yang mungkin lebih membutuhkan daripada dirinya.  Dalam kepemilikan, ia akan mengambil semua.  Ia ingin memonopoli perdagangan, menguasai lahan seluas-luasnya dan tidak berbagi untuk orang lain. Ia menganggap kebahagiaannya tergantung kepada semakin banyak harta yang ia miliki. Orientasi hidupnya adalah “memiliki,” tidak ada jiwa qana’ah, dan dampaknya adalah keserakahan dan kerakusan.

Dahlan Iskan dalam kolomnya bercerita tentang kerabatnya yang gemuk karena banyak makan.  Beratnya mencapai satu kwintal lebih.  Saat meninggal dunia, para petugas sulit untuk menanganinya.  Karena saat ini musim pandemik, maka dibutuhkan hazmat untuk membungkus jenasah, namun tidak ada hazmat yang cukup dikenakan karena badan yang sangat besar.  Untuk mengangkatnya, para petugas sungguh kesulitan.  Peti mati yang digunakan pun tidak ada yang cukup sehingga dibutuhkan peti mati ukuran khusus. Betapa menyulitkan.

 Di tahun 1998, saat awal reformasi, pak Hisyam Adnan bertanya kepada seorang dokter saraf di kota Tegal tentang pilihan politiknya.  Ia mengatakan belum memutuskan akan memilih partai apa. Saat itu, parpol masih sangat kuat.  Yang dipilih adalah partai, bukan caleg. Sang dokter mengatakan, “Yang jelas saya tidak akan memilih partai …, karena ketuanya berperut besar.”   Pak Hisyam kaget dan geli mendengar jawaban sang dokter dan bertanya mengapa. Sang dokter manjelaskan bahwa orang berperut besar menandakan ia  tidak mampu mengendalikan diri saat makan.  Oang yang tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri tidak layak menjadi pemimpin.  Wah, masuk akal juga.
Umar bin Khattab pernah menegur salah seorang warga Madinah yagn berperut gendut, karena mereka yang berperut gendut cenderung lamban dalam bergerak dan sulit melakukan gerakan salat. 

5. Terlalu banyak tidur.

Orang yang terlalu banyak tidur berarti telah menyia-nyiakan hidupnya.  Seorang raja kapal Yunani, Aristoteles Onnasis mengatakan bahwa jika rata-rata orang tidur selama delapan jam, ia hanya tidur selama tujuh jam.  Ia sengaja mengurangi lama tidurnya satu jam sehari, karna ia ingin mempunyai lebih banyak waktu dari kebanyakan orang. Jika dalam sehari seseorang mengurangi waktu tidurnya satu jam, dalam setahun ia memiliki kelebihan 360 jam atau  15 hari.  Kelebihan hari ini adalah sebuah karunia.

Bapak H. Mas’udi selama hidupnya senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya agar tidur tidak terlalu malam, dan bangun lebih awal daripada orng kebanakan.  Beliau selalu menasehati sambil mengutip sebuah kata mutiara, “Early to sleep, early to rise, make healthy wealthy and wise.”
Dalam Alquran disebutkan bahwa tidur diciptakan agar manusia beristirahat. 
وَجَعَلۡنَا نَوۡمَكُمۡ سُبَاتٗا ٩
dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat (Annaba/78:9)

Jika ia sudah cukup bristirahat maka tidak perlu lama-lama seseorang tidur. 

Demikian lima hal yang merusak hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar